Nama
dua buronan penegak hukum Indonesia muncul bersama 11,5 juta dokumen lain dalam
The Panama Papers. Lenyap dari Indonesia, dua pengusaha yang sudah divonis
dalam kasus korupsi, Joko Soegiarto Tjandra dan Agus Anwar, terlacak aktif
berbisnis lewat perusahaan cangkang (shell companies) yang dilindungi tabir
kerahasiaan di kawasan suaka pajak. Bisa jadi petunjuk baru membuka skandal
BLBI.
Seorang
staf senior Kejaksaan Agung mendadak menyela penjelasan Jaksa Agung Muda Pidana
Khusus Arminsyah. Menatap atasannya dengan penuh arti, dia berbisik, “Off the record.” Arminsyah terdiam
sebentar. Dia sedang menjawab pertanyaan reporter Tempo soal apa saja yang
sudah dilakukan aparatur penegak hukum untuk melacak harta kekayaan pengusaha
buron Joko Soegiarto Tjandra, pada Kamis siang, 7 April 2016 itu, ketika
bawahannya mengingatkan. “Soal itu, kami tidak bias menjawab,” kata Arminsyah
kemudian.
Jajaran
Kejaksaan Agung memang pantas bersikap ekstra hati-hati. Kegagalan mereka
membawa pulang dua buron kelas kakap, Joko Tjandra dan Agus Anwar, sejak kabur
bertahun-tahun lalu, sedang jadi sorotan lagi. Pasalnya, dua nama pebisnis yang
sudah divonis dalam kasus korupsi ini, belakangan tercantum dalam dokumen
bocoran firma hukum Panama, Mossack Fonseca. Informasi tentang dua buron ini
terselip dalam data sebesar 2,6 terabyte dalam The Panama Papers. Data yang
pertama kali bocor pada koran Jerman Suddeutsche Zeitung ini dipublikasikan
serentak oleh 100 media di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Consortium of
Investigative Journalists (ICIJ). Tempo adalah satu-satunya media di
Indonesia yang memperoleh data bocoran ini.
Kepada
Tempo, Arminsyah mengaku para jaksa masih memantau aktivitas Joko Tjandra
selama di pelarian. Joker, begitu aparatur penegak hokum menjuluki pengusaha
ini, kini berdomisili di Papua Nugini dan kerap pergi ke Singapura, Hongkong,
Australia hingga Cina. Kalau sudah tahu, mengapa tidak ditangkap?
“Dia
tahu kalau sedang diincar, jadi sudah mempersiapkan segalanya sebelum
berkunjung,” kata Arminsyah. Pergi ke manapun, kata dia, Joko selalu dikawal
ketat orang-orang dekatnya. Selain itu, kata Arminsyah, anggaran Kejaksaan amat
terbatas. Dua faktor itu membuat pengejaran para buron kakap ini jadi
tersendat.
Joko
Tjandra, 66 tahun, adalah buronan Kejaksaan Agung untuk kasus cessie (hak tagih) Bank Bali senilai Rp
546 miliar. Kasus itu terjadi pada 1999 lalu. Joko kabur dari bandara Halim
Perdanakusuma dengan menggunakan pesawat carteran pada 9 Juni 2009 menuju Papua
Nugini. Itu persis sehari sebelum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian
Hukum dan HAM menyatakan bapak empat anak itu dilarang bepergian ke luar negeri.
Kedekatan jarak antara waktu pelarian Joko dan penerbitan perintah cekal
membuat banyak orang mencium bau amis kongkalikong.
Sementara
Agus Anwar, 60 tahun, adalah mantan Direktur Bank Pelita dan Istimarat yang
menikmati Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di puncak krisis ekonomi
Indonesia pada 1998 silam. Setelah menolak membayar dana talangan negara
sebesar Rp 550 miliar, Agus menghilang. Konon dia kabur ke Singapura. Kejaksaan
mengatakan baru 70 persen dari uang itu yang dibayarkan Agus pada negara.
Pada
18 September 2012, Menteri Keuangan (waktu itu) Agus Martowardojo mengatakan
Agus Anwar masih belum membayar utangnya, dan karena itu statusnya sebagai
buron tak berubah. Perintah cegah ke luar negeri (cekal) untuk dia juga masih
aktif. Artinya pemerintah masih mengira Agus Anwar berstatus WNI.
Belakangan,
beredar kabar kalau Agus Anwar sudah menjadi warga Negara Singapura sejak 2004.
Paspornya bernomor E0887983B, dan beralamat di 15 Ardmore Park, #04-03
Singapore, 259959.
Tempo
menemukan nama dua buron ini di dokumen Panama Papers dan menelusuri sepak
terjang mereka selama di pelarian. Berbagai aktivitas bisnis mereka yang
terungkap dari bocoran data Mossak Fonseca, seolah menunjukkan kalau mereka
tengah berpesta di negeri orang, dengan uang yang seharusnya mereka kembalikan
pada negara.
Setelah
kabur dari Indonesia, Joko langsung dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Papua
Nugini. Tiga tahun setelah lolos dari jerat hukum, sang Joker resmi menjadi
warga negara itu. Namanya pun berubah menjadi Joe Chan.
Joko S Tjandra
Dengan
paspor Papua Nugini, Joe alias Joko bisa bebas keluar masuk negara lain. Saking
seringnya keluar negeri, pada Mei 2014 lalu pemerintah Papua Nugini bahkan
harus membuat paspor baru untuk Joe Chan. Buku paspornya sudah dipenuhi stempel
keimigrasian dari manca negara. “Halaman paspornya sudah habis,” kata Kepala
Imigrasi Papua Nugini kala itu, Mataio Rabura, seperti dikutip dari Post
Courier.
Joko
Tjandra memang disambut luar biasa hangat di Papua Nugini. Pada awal April
2016, tak kurang dari Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill yang
terang-terangan berterimakasih atas kiprah Joe Chan alias Joko Tandjra membantu
perekonomian negaranya dengan berbagai proyek pembangunan. Di sana, Joko
Tjandra membangun bisnis properti, salah satunya di pusat pemerintahan Papua
Nugini di Waigani senilai US$ 44,4 juta.
Ketika
ditanya soal status hukum Joko yang jadi buron di Indonesia, O’Neill mengaku
tak tahu menahu. “Kami tak pernah menerima permintaan pemulangan Joe Chan dari
Pemerintah Indonesia,” kata O'Neill.
Dokumen
Panama Papers dengan gamblang mengungkap luasnya skala bisnis Joko Tjandra. Ada
sekitar 27 files yang berisi nama Joko Tjandra di data bocoran ini. Dokumen
paling tua berasal dari 1986.
Pada
tahun itu, Joko Tjandra dan dua saudaranya: Eka Tjandranegara dan Gunawan
Tjandra, membentuk C+P Holdings Limited. Tanggal yang tertera pada dokumen
adalah 3 November 1986. Tak ada keterangan mengenai apa bidang usaha perusahaan
ini. Yang jelas, ada satu nama lagi dalam sertifikat pendirian C+P Holdings:
konglomerat ternama Prayogo Pangestu.
Prayogo
bukanlah nama sembarangan dalam jajaran pengusaha terkemuka di tanah air.
Dengan bendera Barito Pacific, dia merupakan salah satu taipan yang besar dari
bisnis kayu dan penguasaan hutan di era Orde Baru. Belakangan dia mendirikan PT
Chandra Asri, yang bergerak di bisnis petrochemical.
Dari
dokumen Panama Papers, terungkap kalau Prayogo dan Joko Tjandra punya relasi
bisnis yang cukup dekat. Prayogo dan Joko Tjandra yang sama-sama berasal dari
Kalimantan Barat itu mendirikan C+P Holdings dengan modal awal US$ 50 ribu,
dengan nilai US$ 1 per saham. Prayogo menguasai 22.500 saham, dan Joko
menguasai 14 ribu saham. Mereka berkantor di Citco Building, P.O. Box 662,
Tortola, British Virgin Islands.
Prayogo Pangestu
Kongsi
ini bertahan sampai dua dekade. Pada 2006, Joko menjual 4.000 lembar sahamnya
kepada Prayogo. Dengan transaksi itu, alamat perusahaan juga ikut berubah. C+P
kini berkantor di Akara Building, kantor yang sama dengan Mossack Fonseca di
sana.
Pada
awal April 2016 lalu, ketika dikonfirmasi soal kepemilikan perusahaan C+P,
pengacara Hotman Paris Hutapea yang kerap menjadi kuasa hukum Prayogo, tak
kunjung merespon pertanyaan Tempo. Dalam sejumlah kasus, Hotman Paris juga pernah
menjadi pengacara untuk saudara Joko Tjandra, Gunawan Tjandra.
Jejak
lain Joko Tjandra tercium pada sebuah dokumen lain bertanggal 11 Mei 2001. Di
sana tercantum permintaan Joko pada Mossack Fonseca, untuk mendirikan sebuah
perusahaan offshore bernama Shinc Holdings Limited di kawasan suaka pajak.
Shinc
tercatat beralamat di Akara Building, Tortola, British Virgin Islands, yang
juga alamat kantor Mossack Fonseca dan C+P Holdings di British Virgin Islands.
Sertifikat Shinc mencantumkan modal awal perusahaan sebesar US$ 50 ribu, dengan
harga US$ 1 per saham. Di sertifikat itu, Joker menggunakan alamat rumahnya di
Jalan Simprug Golf 1 Kavling 89, Jakarta Selatan. Di awal pendirian Shinc, Joko
adalah pemilik tunggal sekaligus menjabat direktur perusahaan.
Sepuluh
tahun kemudian, pada Agustus 2012, atau tiga tahun setelah Joko Tjandra
dinyatakan buron di Indonesia, ada email dari sebuah perusahaan investasi pada
Mossack Fonseca. Mengklaim mewakili Joko, perusahaan itu meminta Mossack
mengubah komposisi saham Shinc yang dikuasai Joko Tjandra.
Dokumen
Panama Papers menunjukkan bahwa Mossack Fonseca kemudian mengurus administrasi
penyerahan kepemilikan Shinc dari Joko kepada kedua putrinya, Joanne Soegiarto
Tjandranegara dan Jocelyne Soegiarto Tjandra alias Jocy. Pada sertifikat
perusahaan itu, kedua putrinya juga menggunakan alamat rumah yang sama dengan
Joko Tjandra, di Simprug Golf, Jakarta Selatan.
Yang
menarik, nama Joko tak dihapus dari sertifikat kepemilikan baru Shinc. Dia
disebut sebagai anggota perusahaan. Sementara Jocy dan Joanne sama-sama
menjabat direktur. Tidak ada yang menjabat komisaris. Yang juga tak kalah
menarik, Joko minta agar perubahan kepemilikan ini dibuat bertanggal mundur (backdated). Meski perubahan terjadi pada
22 Agustus 2012, Joko minta dokumen yang ada mencantumkan tanggal 10 Januari
2012.
Jocelyne
dan Joanne, dua anak kandung Joko Tjandra, tak bias diwawancara. Penjaga rumah
mereka di Jalan Simprug Golf 1, Jakarta Selatan, tak mau menerima surat
permohonan wawancara yang disodorkan, Rabu, 6 April 2016. Ia beralasan
majikannya berada di luar negeri.
Di
hari yang sama Tempo mengantarkan surat permohonan wawancara itu ke kantor
mereka di lantai 53 Wisma Mulia, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Namun petugas di kantor itu juga menolak menerima surat wawancara itu.
Kabur
ke Singapura dan menjadi warga negara di sana, rupanya tak membuat perangai
Agus Anwar berubah. Dia tetap terbelit utang, dan menolak membayar cicilan
pembayaran. Agus akhirnya dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Singapura
setelah gagal membayar utangnya sebesar Sin$ 103,3 juta, atau senilai Rp 1,3
triliun. Kabar ini dilansir sebuah koran Singapura pada 4 Maret 2011.
Untuk
mengembalikan utangnya, pengadilan menyita saham milik Agus Anwar di beberapa
bank swasta di Singapura. Tak ada informasi soal berapa nilai saham itu dan
apakah semuanya sudah menutup triliunan utang Agus Anwar.
Yang
jelas, besar kemungkinan, harta Agus Anwar tak hanya itu saja. Pasalnya,
dokumen Panama Papers mengungkapkan bagaimana lihainya Agus membuat struktur
perusahaan offshore di kawasan suaka
pajak. Skema macam itu kerap digunakan orang atau perusahaan yang ingin menghindari
pembayaran pajak atau kewajiban lain di negaranya. Terlebih Mossack Fonseca
adalah salah satu firma hukum paling top, yang biasa menyamarkan kepemilikan
sebuah perusahaan di suaka pajak, sampai nyaris tak terlacak.
Dari
penelusuran Tempo, Agus memiliki setidaknya lima perusahaan cangkang.
Perusahaan itu adalah Quants Global Limited, Gem City Capital Limited, Oakwell
Pacific Limited, Oregon Holdings Group Limited, dan Viscorp International Group
Limited. Umumnya dia pemilik tunggal perusahaan dan juga menjabat sebagai
direktur perusahaan tersebut. Semua perusahaan itu rata-rata berdiri pada 2006
dan 2008, dengan menggunakan identitas Agus sebagai warga Singapura.
Arminsyah
tampak tak kaget ketika diberitahu ada nama Joko Tjandra dan Agus Anwar dalam
dokumen Panama Papers. Ia juga menyebutkan masih banyak pengusaha lain yang
memiliki perusahaan di British Virgin Islands. Namun ia menolak berkomentar
soal jumlah dan siapa saja mereka. Menurut dia, persoalan aset dan kekayaan
para pengusaha yang disembunyikan di luar negeri, lebih tepat diurus instansi
lain. “Kami hanya mengurus perkara hukumnya,” katanya.
Saat
ditanya soal apa yang sudah dilakukan Kejaksaan Agung untuk mengejar aset dan
kekayaan para buron itulah, staf Arminsyah menyela dan memberi isyarat pada
atasannya, “Itu off the record,”
katanya kemudian.
Tempo
Mustafa
Silalahi
Inge
Klara
Angelina
Anjar