Kodrat transportasi ialah untuk kelancaran angkutan. Namun, tetap
saja tanpa regulasi yang jelas, model transportasi semodern apa pun tidak akan
berguna dan malah menimbulkan kesengkarutan. Itulah yang terjadi kemarin di Ibu
Kota.
Di jalan-jalan utama Jakarta, para pengemudi taksi konvensional
bentrok dengan para pengemudi transportasi berbasis aplikasi daring. Aksi anarkistis
pengemudi angkutan konvensional jelas tidak dapat dibenarkan dan harus
ditindak.
Di sisi lain, kemarahan itu tidak sulit dipahami sebagai bentuk
frustrasi dan ketidakberdayaan akan iklim kerja yang tidak fair.
Memang, pemerintah bukannya tinggal diam. Setelah demonstrasi para
pengemudi taksi pada 14 Maret lalu, pemerintah mendorong transportasi berbasis aplikasi
daring tersebut agar berbadan hukum. Langkah awalnya ialah dengan membentuk
koperasi.
Pada Senin (21/3), Uber mengumumkan mitranya di Indonesia telah memperoleh
akta pendirian koperasi dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Grab Car mengaku telah bergabung dengan Persatuan Pengusaha Rental Indonesia
(PPRI).
Selanjutnya, sebagaimana usaha angkutan sewa lainnya, untuk dapat beroperasi,
transportasi itu harus mendapatkan izin dari gubernur, bupati, atau wali kota.
Sampai di sini, meski proses tersebut belum tuntas dijalankan,
aturan yang telah dimiliki pemerintah kelihatan cukup lengkap. Namun, kekhawatiran
dan pertanyaan besar belum sepenuhnya terjawab, yakni apakah iklim usaha
transportasi kita selanjutnya akan berjalan dalam kompetisi yang adil dan
setara?
Kekhawatiran itu tidak berlebihan jika mengingat respons pemerintah
selama ini yang terbilang lambat. Bom waktu polemik transportasi daring
semestinya sudah terlihat dan diantisipasi melalui regulasi sejak hadirnya
perusahaan perusahaan aplikasi untuk transportasi di Indonesia pada 2014.
Namun, pemangku kebijakan menunggu dan seperti tak peka akan maraknya
demonstrasi terkait dengan Uber dan perusahaan sejenis di seluruh dunia.
Kini, pemerintah semestinya juga jangan merasa cukup dengan
regulasi yang ada. Pasalnya, perusahaan aplikasi memiliki inovasi yang demikian
pesat. Regulasi semestinya akan menciptakan keadilan dan kesetaraan. Semua diperlakukan
setara dan adil berdasarkan undang-undang.
Penelitian sebuah universitas ternama AS memperkirakan bahwa
inovasi-inovasi perusahaan aplikasi dengan layanan transportasi bisa mengubah
strata pekerjaan di negara tersebut. Jenis pekerjaan rendah atau tanpa keterampilan
diramalkan berakhir riwayatnya terkena imbas perusahaan tersebut.
Memang ketika kemajuan teknologi tidak dapat dibendung, pilihannya
tiada lain ikut beradaptasi, bukan menentang, sehingga manfaatnya bisa
sama-sama dirasakan.
New York yang dikenal sebagai kota yellow cab ialah
salah satu yang disebut berhasil beradaptasi. Pemerintah kota di sana
mengkhususkan transportasi berbasis daring itu dalam kategori perusahaan
transportasi berbasis jaringan dan menerapkan aturan khusus, termasuk pajak per
trip. Pemerintah kota juga telah memperhitungkan rencana perkembangan usaha
transportasi daring dengan layanan multipenumpang serupa angkot.
Dengan pajak tersebut pemerintah kota membangun transportasi massal
yang nyaman, yang memang sebenarnya menjadi tujuan akhir para perusahaan transportasi
berbasis daring. Dengan cara itulah kemajuan teknologi diupayakan menguntungkan
banyak pihak dan bukannya membunuh kompetisi. Pilihan itu pula yang semestinya
tidak mustahil diambil di Indonesia.
#MediaIndonesia