Sejak
ditetapkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
Pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk penduduk miskin dan tidak
mampu melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pertama
dinamakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (PJKMM) yang diubah
menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), kemudian tahun 2008
diubah menjadi Jamkesmas. Kelompok penduduk miskin dan tidak mampu menjadi
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang biayanya merupakan tanggung jawab
pemerintah.
Kemudian
menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang menganut
prinsip transparansi, kehati-hatian dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya.
Lantas system iurannya menganut prinsip kegotong-royongan diwujudkan dalam
mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang
mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko
rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang
sakit.
Prinsip
kegotong-royongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung
beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta
membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.Sedangkan
untuk iuran program jaminan sosial termasuk program jaminan kesehatan bagi
peserta PBI dibayar oleh Pemerintah. Jadi, alokasi APBN untuk membayar iuran
peserta PBI merupakan bentuk gotong-royong nasional, seluruh rakyat ikut
membiayai.
Melihat animo
masyarakat untuk menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikelola BPJS Kesehatan cukup besar. Data terbaru, peserta BPJS Kesehatan
mencapai 142 juta orang. Proyeksi tahun 2015, jumlah peserta meningkat menjadi
168 juta orang dengan 30 juta orang merupakan pekerja penerima upah (PPU).
Komposisi opini peserta BPJS juga tecermin dari jajak pendapat Kompas. Dari 592
responden jajak pendapat Litbang Kompas di 12 kota, 53,5% telah mengikuti BPJS
Kesehatan. Komposisinya, lebih dari 60% pegawai negeri sipil dan pensiunan.
Namun, dari 317 responden yang menjadi peserta program JKN BPJS Kesehatan,
hanya 39,1% yang menyatakan puas terhadap layanan BPJS. Sebanyak 42,9%
responden pengguna layanan BPJS Kesehatan masih menyatakan tidak puas.
Ketidakpuasan tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berbagai hal,
mulai dari kerumitan prosedur untuk mendapatkan layanan sejak pendaftaran
keanggotaan hingga saat pemeriksaan.
Peserta BPJS
tak bisa bebas memilih fasilitas kesehatan (faskes) karena program JKN
menggunakan pola rujukan berjenjang. Pasien diharapkan berobat terlebih dahulu
ke faskes tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, ataupun dokter keluarga.
Jika membutuhkan layanan lebih lanjut dari dokter spesialis, pasien akan
dirujuk ke faskes yang tingkat layanannya lebih tinggi. Masalah lain, masih
sedikit faskes yang bekerja sama dengan BPJS. Hal ini kerap mengakibatkan
antrean panjang pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Bahkan, antrean
panjang pun terjadi ketika warga hendak mendaftarkan diri sebagai peserta di kantor
cabang BPJS Kesehatan.
Salah satu
penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya
manusia di faskes tingkat pertama belum memadai. Tingginya angka rujukan yang
tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit sebagai tingkat
layanan sekunder, yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu
karena panjangnya antrean, sementara sumber daya manusia di rumah sakit
terbatas.
Tidak hanya
itu, sistem pembayaran iuran BPJS harusnya juga transparan. Artinya, peserta
harusnya menerima struk pembayaran yang terinci jumlah pembayaran, jumlah bulan
dan nilai iuran serta denda atas keterlambatan (kalau ada) secara lengkap.
Namun dalam pelaksanaannya, struk pembayaran hanya mencantumkan data jumlah
pembayarannya saja, tanpa rincian jumlah bulan dan denda keterlambatan. Jelas,
data transaksi pembayaran iuran akhirnya tidak lengkap diketahui oleh peserta
BPJS Kesehatan.
Saat ini,
peserta BPJS PPU mencapai 33,9 juta peserta, terdiri dari PPU swasta; PPU PNS,
TNI, dan Polri aktif; serta pensiunan. Rasio klaim BPJS Kesehatan 2014 mencapai
103,88%. Artinya, klaim yang harus dibayar pada program JKN lebih besar
dibandingkan dengan iuran yang diperoleh. Karena itu, Dewan Jaminan Sosial
Nasional mengusulkan kenaikan iuran bagi semua kelompok peserta. Iuran Kondisi
yang belum optimal dalam menjaring kerja sama dengan faskes dan banyak peserta
potensial yang belum dirangkul, ditambah kualitas layanan yang belum memuaskan,
membuat publik menilai iuran belum layak dinaikkan.
Dari 53,7%
responden yang tidak setuju iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, 58,8% merupakan
peserta dan 39,3% belum menjadi peserta. Menyelesaikan masalah yang dihadapi
BPJS Kesehatan tidak cukup dengan menaikkan iuran peserta. Jadi, harusnya ada
evaluasi awal secara komprehensif dan terbuka antara Kementerian Kesehatan,
Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan serta melibatkan wakil
komponen buruh dan YLKI. Karena itu, adalah lebih baik menunda kenaikan iuran,
ketimbang pemerintah dituding membuat gaduh di tengah rendahnya daya beli
masyarakat saat ini.
#Neraca