Nama
Grup Djarum kembali menarik perhatian. Tapi kali ini bukan lantaran pemiliknya,
Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono kembali dinobatkan oleh majalah
ekonomi bergengsi, Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Kali ini, lini
bisnis Djarum tersangkut masalah.
Adalah
pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di area Hotel Indonesia yang
dipersoalkan Kejaksaan Agung. Dalam perjanjian kerja sama build, operate,
transfer (BOT) antara PT Cipta Karya Bersama Indah (CKBI) atau PT Grand
Indonesia (GI) dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN), Menara BCA dan Apartemen
Kempinski tak ada dalam kontrak perjanjian.
“Saya
pernah sampaikan bahwa ini ada perjanjian membangun mal, parkir, tapi tidak
membangun tower yang dua itu,” ujar Arminsyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus
(Jampidsus).
Menurut
Arminsyah, Menara BCA dan Apartemen Kempinski dibangun di atas lahan milik
negara, yakni BUMN PT Hotel Indonesia Natour. “Ada tindak pidananya. Ini baru
kita naikan ke penyidikan,” tambah Arminsyah, Selasa pekan lalu.
Jampidsus
mengatakan, ia tidak peduli Menara BCA dan Apartemen Kempinski milik pengusaha
siapa. “Mau perusahaan siapa kek, nggak ada urusan. Kalau pembangunan
itu diformalkan seharusnya ada pembayaran ke negara,” katanya.
Kejaksaan
Agung (Kejagung) telah memanggil sejumlah saksi dari tiga perusahaan yang
terlibat dalam perjanjian, termasuk Direktur Utama HIN Iswandi Said. Selain
itu, tim penyidik Kejagung juga telah menggeledah Menara BCA dan Apartemen
Kempinski, Thamrin, Jakarta Pusat.
Dalam
penggeledahan tersebut, tim penyidik Kejagung membawa sejumlah dokumen,
seperti risalah rapat terkait kerja sama BOT, dokumen pengembangan,
proposal CKBI, dan rekap penerimaan kompensasi BOT.
Awal
mula perkara ini bersumber dari perjanjian kerja sama BOT antara CKBI/GI dengan
HIN yang ditandatangani pada 13 Mei 2004. Dalam perjanjian itu disepakati pembangunan
empat objek fisik di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama GI, yakni
hotel bintang lima (42.815 m2), pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2,
pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2 dan fasilitas parkir seluas 175.000 m2.
Tapi
realisasi yang tertuang dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tanggal 11
Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan gedung perkantoran (Menara BCA) dan
apartemen (Kempinski).
Akibat
penyalahgunaan itu, HIN kehilangan kompensasi penambahan dua bangunan komersial
tersebut. Selain itu, GI juga tidak kooperatif dan transparan
menyampaikan laporan pemeliharaan dan tidak memberi rincian nilai biaya
pemeliharaan.
Seharusnya
alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4% dari nilai pendapatan pengelolaan obyek
BOT. Kondisi ini berpotensi merugikan HIN yang akan menerima objek BOT di
kemudian hari.
Penyalahgunan
lainnya, opsi perpanjangan 20 tahun setelah masa BOT 30 tahun dengan ketentuan
nilai kompensasi adalah Rp 400 miliar atau 25% dari Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). Namun, pada praktiknya perpanjangan tidak lagi dengan CKBI,
tetapi dengan GI.
Parahnya
lagi, dokumen persetujuan pengalihan dari CKBI ke GI hanya dalam perjanjian
antar direksi, dan dokumen itu saat ini hilang. Bukan itu saja, tanah
negara itu kini telah diagunkan oleh GI ke Bank UOB.
Anehnya
lagi, bekas Direktur Utama HIN kini menjadi Direktur Utama PT Menara Sarana
Nusantara, Tbk, anak perusahaan Grup Djarum, yang kini sebagai pihak penyewa di
lahan 7 hektar milik HIN. Seperti diketahui, kelompok Djarum kini menjadi
pemegang saham mayoritas BCA.
Selain
itu, ada masalah perpanjangan kontrak kerja sama. Awalnya, kontrak kerjasama
hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004. Tapi pada 2010, kontrak
kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.
Temuan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, ada potensi kerugian negara
sebesar Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai perjanjian.
Hanya
saja, Komisaris HIN yang baru Michael Umbas mengatakan, temuan BPK itu dengan
asumsi perpanjangan 20 tahun senilai Rp 400 miliar yang telah dibayarkan kepada
direksi HIN yang lama. “Kompensasi Rp 400 miliar itu terlalu murah, perpanjangan
itu 25% kali dari NJOP, sehingga NJOP 2014 seharusnya Rp 6 triliun. Nilai
NJOP kan naik terus. Jadi ini akan lebih rugi lagi," katanya.
Sekadar
mengingatkan, CKBI ditunjuk sebagai pengelola Hotel Indonesia sejak memenangi
tender BOT Hotel Indonesia pada 2002. CKBI, yang merupakan anak usaha Grup
Djarum, kemudian membentuk GI untuk mengelola bisnis bersama HIN,
dan memulai pengerjaan pada Maret 2004.
Dalam
kerjasama BOT selama 30 tahun sejak 2004, pihak GI menyiapkan dana
sebesar Rp 1,65 triliun, untuk alokasi pembangunan fisik sebesar Rp 1,3 triliun
dan Rp 355 miliar kompensasi ke negara. Sedangkan opsi penambahan BOT selama 20
tahun, GI mengucurkan dana Rp 444 miliar.
GI
memulai pembangunan dengan menggabungkan fungsi pusat belanja, perkantoran,
apartemen dan hotel sekaligus.
Untuk
pusat belanja, kawasan ini menyediakan pusat belanja mewah dan hiburan seluas
250 ribu meter persegi yang terdiri atas delapan lantai. Mall terdiri dari dua
blok, barat dan timur yang dihubungkan dengan jembatan.
Untuk
hotel, mendesain kembali Hotel Indonesia yang sudah dikenal sejak 1960.
Hotel ini dikelola oleh Kempinski Group sehingga namanya pun diubah menjadi
Hotel Indonesia-Kempinski. Hotel dengan 280 kamar ini menerapkan standar
internasional, baik dari sisi pelayanan setara dengan The Raffles Singapura dan
The Oriental Bangkok.
Selain
hotel, GI menggandeng RTKL untuk mendesain Apartemen Kempinski Residence
yang memberikan fasilitas layanan dengan standar tinggi, juga memakai teknologi
tinggi. Apartemen dengan 57 tingkat ini terdiri atas 190 unit. Yang tak kalah
penting adalah Menara BCA. Ini menjadi salah satu pusat perkantoran salah satu
bank yang dikendalikan oleh Grup Djarum, yakni Bank BCA, bank papan atas
terbesar di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BRI. Menara BCA merupakan salah
satu gedung tertinggi di Jakarta yang menyatu dengan pusat belanja Grand
Indonesia. Di lantai 11 dilengkapi dengan kolam renang dan pusat olahraga. Jika
ingin melihat matahari terbenam, bisa menuju lantai 56 sembari menikmati menu
restoran terbaik di Jakarta.
Tapi
ya itu tadi, perjanjian itu ternyata melahirkan masalah. Bahkan, masalah ini
sudah dipersoalkan sejak tahun 2012. Pada rapat dengar pendapat antara Komisi
VI DPR dengan manajemen GI tanggal 18 September 2012, Dewan sampai
memutuskan membentuk Panitia Kerja (Panja) DPR untuk melakukan investigasi
terhadap skema kerjasama HIN dengan GI.
Seiring
perjalanan waktu, kerja Panja pun tak terdengar hasilnya, sampai kemudian
Kejagung membuka kembali masalah ini.
Pakar
hukum Universitas Brawijaya, Malang Prija Jatmika menyatakan, Kejagung dan KPK
harus menjadikan kasus pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski sebagai
pintu masuk untuk mengungkap keterlibatan kroni pengusaha dan pejabat dalam
penyalahgunaan BOT aset milik negara.
Menurut
Prija, kasus penyalahgunaan kontrak aset BUMN ini juga merupakan korupsi
terencana yang telah merugikan keuangan negara triliunan rupiah. “Pembangunan
Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang telah disepakati
merupakan kejahatan yang luar biasa. Secara hukum harus diberlakukan sebagai
tindak pidana korupsi, karena tidak mungkin tanpa sepengetahuan pejabat yang
terkait”
Dia
menambahkan, semua pengambil keputusan yang terlibat dalam BOT Hotel Indonesia
harus ditindak. “Kasus ini harus menjadi entry point penyelidikan aset
negara lain yang dikorupsi,” kata dia.
Presiden
Joko Widodo kabarnya telah meminta KPK untuk menyelidiki kasus
penyalahgunaan BOT Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Sedangkan Kejagung masih
mengumpulkan data terkait kasus yang telah merugikan keuangan negara hingga
triliunan rupiah tersebut.
#ReviewWeekly
Pakar
hukum Universitas Brawijaya, Malang Prija Jatmika menyatakan, Kejagung
dan KPK harus menjadikan kasus pembangunan Menara BCA dan Apartemen
Kempinski sebagai pintu masuk untuk mengungkap keterlibatan kroni
pengusaha dan pejabat dalam penyalahgunaan BOT aset milik negara.
Menurut
Prija, kasus penyalahgunaan kontrak aset BUMN ini juga merupakan
korupsi terencana yang telah merugikan keuangan negara triliunan rupiah.
“Pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang
telah disepakati merupakan kejahatan yang luar biasa. Secara hukum harus
diberlakukan sebagai tindak pidana korupsi, karena tidak mungkin tanpa
sepengetahuan pejabat yang terkait,” kata Prija seperti dikutip dari Koran Jakarta.
Dia menambahkan, semua pengambil keputusan yang terlibat dalam BOT Hotel Indonesia harus ditindak. “Kasus ini harus menjadi entry point penyelidikan aset negara lain yang dikorupsi,” kata dia.
Presiden
Joko Widodo kabarnya telah meminta KPK untuk menyelidiki kasus
penyalahgunaan BOT Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Sedangkan
Kejagung masih mengumpulkan data terkait kasus yang telah merugikan
keuangan negara hingga triliunan rupiah tersebut.
- See more at: http://www.majalahreviewweekly.com/read/660/skandal-menara-bca#sthash.yrMzUA1j.dpuf