Sebanyak 203
anggota DPR periode 2014-2019 belum menyerahkan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK. Perinciannya, 69
anggota sama sekali belum melaporkan dan 134 anggota belum memperbaharui
laporannya.
Data ini
terungkap setelah Koalisi Masyarakat Peduli Parlemen (KMPP) mendatangi kantor
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa, 8 Maret 2016. Empat hari
sebelumnya, koalisi ini mendatangi DPR, meminta para legislator memenuhi
kewajibannya menyampaikan LHKPN.
Dengan data
yang didapat dari KPK, KMPP melaporkan para legislator yang belum membuat LHKPN
ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Apakah tidak membuat LHKPN termasuk
pelanggaran etika? MKD belum bisa menjelaskannya. Saat ini lembaga yang
bertugas menjaga kehormatan dewan ini tengah bersurat ke KPK
untuk mendapatkan data akurat nama anggota DPR yang belum membuat LHKPN.
Anggota DPR
yang belum membuat LHKPN ini cukup besar dibanding keseluruhan anggota DPR yang
berjumlah 560 orang. Dan sesungguhnya ini peristiwa yang memalukan. Sebab KPK
sudah mengirim surat dua kali, mengingatkan kewajiban mengisi LHKPN bagi
penyelenggara negara.
Parahnya,
Ketua DPR, Ade Komarudin ternyata termasuk
legislator yang belum memperbaharui LHKPN. Dia terakhir melaporkan kekayaannya
pada 2001. Ia beralasan belum sempat bikin LHKPN karena sibuk. Ia berjanji akan
melaporkan LHKPN pada masa reses mendatang dan mengimbau koleganya untuk segera
membuat LHKPN.
Alasan sibuk
dan tidak sempat membuat LHKPN bisa dibilang mengada-ada. Dalih yang lebih
sahih adalah malas. Bukan rahasia bahwa terhadap kewajiban lain pun, DPR suka
malas. Daftar kehadiran anggota DPR dalam berbagai sidang misalnya, sering
bolong. Produktivitas DPR pun super rendah. Pada 2015, dewan hanya menghasilkan
tiga undang-undang dari 37 RUU prioritas.
Kalau pun
legislator masih kebingungan mengisi formulir LHKPN, itu juga tak bisa
dijadikan alasan. Apalagi hingga terlambat menyerahkan LHKPN sampai lebih dari
1 tahun. Petugas KPK bersedia memberikan pendampingan dalam pengisian LHKPN.
LHKPN
sesungguhnya bukan hal baru bagi penyelenggara negara termasuk DPR. Kewajiban
ini diatur dalam Pasal 5 UU No. 28/1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Lalu diperkuat dengan UU No. 30/2002
tentang KPK. Cara pelaporannya diatur dengan Keputusan KPK No. 07/KPK/02/2005
tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara.
Apa
sesungguhnya yang ingin dicapai dengan LHKPN? Antara lain tentu tentang
disiplin. Yang juga penting adalah transparansi bagi para penyelenggara negara.
Namun yang paling penting, dari rangkaian LHKPN yang diperbarui dari waktu ke
waktu, kekayaan penyelenggara negara akan terlihat grafik peningkatannya.
LHKPN ini juga
bisa dijadikan peringatan dini bagi KPK dalam melakukan pencegahan atau
penindakan. Misalnya saja, bila terjadi peningkatan kekayaan yang tidak wajar
seorang penyelenggara negara pada kurun waktu tertentu. Namun tujuan LHKPN ini
akan sia-sia tanpa kepatuhan para penyelenggara negara dalam melaporkan.
Masalah paling
serius rendahnya ketaatan penyelenggara negara terhadap pelaporan LHKPN, adalah
tidak adanya sanksi definitif. Pasal 20 UU No. 28/1999, hanya menyebut
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Nah sanksi
administratif ini sampai sekarang masih menjadi wacana.
KPK memiliki beberapa ide soal sanksi administratif ini. Misalnya, penangguhan
promosi atau kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil dan Militer.
Persoalannya bagaimana dengan anggota DPR? Dikenakan sanksi tak boleh ikut
sidang? Bisa jadi mereka malah senang, wong selama ini mereka pun sering
bolos sidang.
Ketidakjelasan
sanksi administratif inilah yang diduga kuat menjadi penyebab kemalasan
penyelenggara negara membuat LHKPN. Dari data di KPK, bisa dibilang kepatuhan
melaporkan LHKPN secara nasional rendah.
Penyelenggara
negara di lembaga legislatif hanya salah satu contoh. Jumlah legislator di
Indonesia periode 2014-2019, sebanyak 17.216 orang, terdiri dari: DPR RI 560
orang, DPD 132 orang, DPRD tingkat Provinsi 2.114 orang, DPRD Kabupaten/Kota
14.410 orang.
Sampai 31
Januari 2016 yang melaporkan baru 3.637 orang. Padahal, yang wajib melaporkan
sebanyak 13.325, ini terdiri dari yang belum melaporkan ditambah yang harus
melakukan pembaruan. Maklum saja, LHKPN diwajibkan bagi pejabat negara pada
saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Di lembaga
eksekutif, kepatuhannya pun tak beda jauh. Sampai 31 Januari, eksekutif yang
wajib menyerahkan LHKPN sebanyak 280.881orang, sedang yang sudah menyerahkan
LHKPN baru 156.716 orang.
Yudikatif yang
kepatuhannya cukup bagus. Dari 11.463 yang wajib membuat LHKPN, yang telah
lapor sebanyak 10.049 orang. Sementara pejabat BUMN lumayan taat. Dari 26.835
orang yang wajib bikin LHKPN, sebanyak 21.000 sudah menyelesaikan kewajibannya.
Kewajiban
penyelenggara negara membuat LHKPN, sebenarnya tak beda jauh dengan kewajiban
rakyat membuat SPT Pajak tahunan. Bedanya, pelaporan SPT tegas ancaman
hukumannya bagi yang sengaja tidak melaporkan. Misalnya, pidana penjara hingga
6 tahun, denda hingga 4 kali pajak terutang. Bahkan ancaman pidana dan dendanya
bisa dikalikan dua bila kejahatan serupa diulang.
Tidak ada
pilihan lain bagi pemerintah selain lebih tegas dalam memberikan sanksi
terhadap penyelenggara negara yang malas membuat LHKPN. Aturan hukum dibuat
bukan untuk dilecehkan, apalagi oleh penyelenggara negara, termasuk si pembuat
UU sendiri.
Tanpa sanksi
definitif, kepatuhan membuat LHKPN akan tetap rendah. Transparansi harta
penyelenggara negara, hanya basa basi. Pencegahan korupsi pun hanya akan jadi
mimpi. Maka jangan salahkan masyarakat bila menilai aturan hukum itu hanya
tajam terhadap rakyat umum, tapi tumpul terhadap penyelenggara negara.
#BeritaTagar