Reklamasi
Teluk Jakarta tak hanya alot saat memulainya 21 tahun lalu, juga liat saat
menghentikannya. Setelah mulus hingga pengurukan, karena ditentang sana-sini,
pemerintah menghentikan sementara pembuatan 17 pulau itu pada 19 April 2016.
Tiga bulan kemudian, atau 29 Juni 2016, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal
Ramli mengumumkan pembuatan Pulau G dihentikan secara permanen.
Pulau
C, D, dan N dilanjutkan dengan sejumlah perbaikan. Tim Bersama Reklamasi masih
menggodok kemungkinan menghentikan pulau lain yang belum sempat dibahas. Pulau
G disetop karena pembuatannya masuk kategori pelanggaran berat: jarak pulau ke
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang tak lebih 300 meter. Padahal menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 5/2010
tentang Kenavigasian pasal 38 ayat 3a, zona aman di sekitar objek vital minimal
500 meter.
Setelah
keputusan yang diteken Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti, dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Gubernur Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo karena
keberatan pada putusan itu.
Menurut
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Oswar Muadzin Mungkasa, yang juga anggota Tim
Bersama, keputusan itu melenceng dari rekomendasi tim. Ada tiga tim kecil dalam
Komite: penyelaras aturan, lingkungan hidup, dan tim teknis reklamasi. Menurut
Oswar, tim merekomendasikan Pulau G tetap dilanjutkan dengan perbaikan.
Dalam
slide presentasi tim, Pulau G memang tak dihentikan. Namun, menurut Deputi
Menteri Kemaritiman Bidang Maritim Safri Burhanuddin, slide hanya presentasi
saat rapat. Keputusan Pulau G diambil setelah itu dengan menimbang banyak
usulan dari peserta rapat. “Tim dari Kementerian Kelautan usul izin dicabut,
semua setuju,” kata Menteri Rizal pekan lalu.
Saat
rapat itu, kata Rizal, Oswar tak menyampaikan keberatan seperti ditulis dalam
surat kepada Presiden. “Dia malah setuju, cek saja ada rekaman rapatnya,” kata
Rizal. Safri menambahkan ada pernyataan Oswar soal Pulau G dalam surat kepada
Tim. “Tapi dalam rapat terbuka dia tak ngomong apa-apa,” Rizal menimpali.
Rizal
meminta Gubernur Basuki tak cengeng karena mengadukan semua hal kepada
presiden. Soal reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, cukup diputuskan tiga
menteri. Basuki menanggapinya dengan dingin. Menurut dia, laporannya kepada
presiden karena izin reklamasi berdasarkan Keputusan Presiden. “Kalau tak
melapor saya juga salah,” katanya.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi
Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut
Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan
Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa
ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.
Dari
17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Pulau A dan B berada di Jakarta dan
Banten. Pulau ini dibuat oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu
Group, yang dipimpin anggota Dewan Perwakilan Daerah Nono Sampono. Nono menjadi
rival Basuki dalam pemilihan gubernur 2012 sebagai calon wakil gubernur
mendampingi Alex Noerdin dari Golkar. “Keterlibatan Kementerian dalam
penerbitan Amdal tak bisa ditawar lagi karena itu satu kawasan ekosistem,” ujar
San Afri yang menjadi Koordinator Tim Lingkungan dalam Komite Bersama.
Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati berpendapat lain. Menurut
dia Pulau A dan B akan dipisahkan oleh kanal yang sekaligus menjadi batas dua
provinsi itu. Pemerintah Jakarta hanya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi
untuk pulau yang ada di wilayah Ibu Kota. “Karena ada di Jakarta, Amdal dari
kami,” katanya.
Kepala
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jakarta Junaedi menambahkan dasar pemerintah
daerah menerbitkan Amdal yang tak dinilai Kementerian Lingkungan adalah
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/2013 tentang Tata Laksana Penilaian
Dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup Serta Penerbitan Izin Lingkungan.
Menurut aturan itu, jika reklamasi di satu provinsi, penilainya cukup Komisi
Amdal Daerah. Dengan basis itu pemerintah Jakarta sudah menyetujui sepuluh
Amdal untuk sepuluh pulau.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi
Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut
Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan
Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa
ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.
Tuty
menyangkal Susi. Menurut dia, Jakarta bukan termasuk kawasan strategis nasional
tertentu, melainkan hanya kawasan strategis nasional belaka. Dua kategori ini,
kata Tuty, diatur dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional serta Peraturan Presiden Nomor 54/2008 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Lagi
pula, kata Tuty, Keputusan Presiden Nomor 52/1995, yang menjadi dasar
pemerintah Jakarta mengeluarkan izin reklamasi, berlaku lex specialist. Ia
mengklaim diskusi antara pemerintah pusat dan daerah mengerucut pada
persetujuan pandangan Tuty. Untuk memperjelasnya, segala perdebatan aturan itu
dibahas dalam Komite Bersama.
Menteri
Rizal menyergahnya. Menurut dia, di Indonesia hanya ada dua aturan khusus yang
bisa mengabaikan aturan lain, yakni Undang-Undang Minyak dan Gas serta aturan
tentang kontrak karya perusahaan minyak. Dua aturan ini mengabaikan aturan
pajak. “Saya tak pernah dengar ada keputusan presiden bersifat lex specialist,”
kata Rizal.
Moratorium
membuat segala izin yang telah dikeluarkan untuk segala kegiatan reklamasi
berada dalam status quo. Soalnya, Tim Reklamasi merekomendasikan agar izin
semua pulau diajukan baru kepada Kementerian Perhubungan karena Teluk Jakarta berada
di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Kewenangan ini diatur dalam PP 5/2010 itu.
Izin reklamasi 17 pulau sejauh ini diterbitkan hanya oleh Gubernur Jakarta.
Setelah
izin reklamasi diterbitkan Gubernur Jakarta sejak 2010, dasar kegiatan
pengembang membuat bangunan di atas pulau yang sudah jadi adalah Peraturan
Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Pantai Utara. Dua aturan tersebut batal disahkan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah karena Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok Mohamad
Sanusi, politikus Gerindra, seusai menerima suap dari Direktur Utama Agung
Podomoro Land Ariesman Widjaja pada 31 Maret 2016.
Podomoro
telah selesai membuat pondasi Pulau G. Urukannya mencapai 18 persen ketika
dihentikan. Perusahaan properti itu juga sudah lama mengiklankan dan menjual
apartemen dan perkantoran di pulau seluas 161 hektare itu. Ariesman
ikut menjadi tersangka karena diduga menyuruh anak buahnya memberikan Rp 1,1
miliar kepada Sanusi, Ketua Komisi Pembangunan DPRD Jakarta. Ia bukan anggota
Badan Legislasi yang memutuskan dua Rancangan aturan itu, tapi diduga berperan
mengatur anggota Dewan merancang siasat pengembang menjegal aturan-aturan yang
memberatkan mereka.
Sanusi,
misalnya, diduga menjadi perantara pertemuan antara Sugianto Kusuma, pemilik
Agung Sedayu, dengan pimpinan DPRD. Mereka adalah Ketua Prasetio Edi Marsudi,
Wakil Ketua Mohamad Taufik—kakak Sanusi—Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat
Nurdin, dan anggota Ongen Sangaji pada Desember lalu. Di DPRD, keempatnya kerap
disebut “Geng STOP”—akronim dari nama mereka.
KPK
menduga suap yang sudah diberikan lima kali secara bertahap itu untuk
menurunkan kontribusi tambahan pengembang sebesar 15 persen menjadi lima persen
yang diinginkan Gubernur Basuki dalam Rancangan Perda Tata Ruang. Dalam
Rancangan itu, Gubernur Basuki mewajibkan pengembang membangun 40 persen lahan
untuk ruang terbuka hijau, 5 persen untuk fasilitas umum dan khusus, seperti
rumah susun sederhana untuk pekerja pulau. Dari jumlah itu, pengembang masih
wajib membayar 15 persen x nilai jual objek pajak x luas lahan yang terjual. Dengan
asumsi nilai pajak Rp 25 juta dan semua lahan hak pengembang terjual,
pemerintah Jakarta bakal mendapat Rp 48 triliun dari sepuluh pulau—tujuh pulau
milik pemerintah.
Penangkapan
Sanusi itu mengingatkan Tuty pada kejadian 8 Maret 2016. Ia dan beberapa
pejabat teras Jakarta dipanggil Basuki ke ruang kerjanya di Balai Kota. Tuty
menyodorkan draf Rancangan yang dititipkan Ketua Badan Legilsasi Mohamad
Taufik. Dalam draf itu, Taufik mengusulkan agar kontribusi tambahan diatur
dalam perjanjian antara Gubernur dengan pengembang saja. Itu
pun besarnya hanya 5 persen yang bisa diambil di awal, yakni sebelum pengerjaan
reklamasi dan penjualan lahannya berlangsung. Bunyi pasal 110 ayat 5 huruf c
yang diajukan Taufik berbunyi: “Tambahan kontribusi adalah kontribusi yang
dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang
akan diatur dengan perjanjian kerjasama antara gubernur dengan pengembang”.
Basuki
meledak membaca usulan itu. “Urat lehernya sampai keluar,” kata Tuty. Basuki
lalu mencoret-coret draf dari Taufik tersebut dengan kata-kata “Gila, kalau
seperti ini bisa pidana korupsi!”. Menurut Tuty, dugaan KPK soal penurunan
kontribusi tambahan itu agak keliru karena upaya DPRD mengurangi kontribusi
tambahan memakai pelbagai cara. Kontribusi turun dari 15 persen menjadi 5
persen hanya salah satu siasat.
Sebetulnya,
mengutak-atik rumus kontribusi tambahan adalah cara kedua politikus di DPRD mengurangi
kewajiban pengembang kepada pemerintah. Cara pertama adalah memindahkannya ke
peraturan gubernur. Rumus tak berubah, hanya tak diatur dalam Perda. Basuki
sudah setuju dengan usul ini. Ia berpikir mendapat cek kosong karena pengaturan
kontribusi bisa dia atur sepenuhnya.
Dalam
draf 22 Februari 2016, kontribusi tambahan pada pasal 116 sudah dilempar ke
peraturan gubernur. Belakangan ia sadar itu rencana jangka panjang DPRD
berkaitan dengan pemilihan gubernur. Sanusi berniat melawannya dalam pemilihan
2017. “Jika calon mereka menang, peraturan gubernur bisa dibatalkan,” kata
Basuki.
Dugaan
ini dikonfirmasi Sanusi saat memberi keterangan dalam pengadilan pada Senin dua
pekan lalu. Ia mengatakan pemberian uang dari Ariesman itu akan ia jadikan
modal menjadi calon gubernur Jakarta menantang Basuki Tjahaja Purnama. Sebelum
ditangkap, wajah Sanusi sempat menghiasi beberapa sudut Jakarta dengan menyebut
diri “Bang Uci”. Spanduk menghilang setelah ia dicokok KPK.
Maka
Basuki pun kembali ke usul semula, yakni menempatkan kontribusi tambahan 15
persen dalam Perda. Keputusan Basuki ini membuat DPRD memakai siasat lain.
Dalam rapat pimpinan gabungan antara eksekutif dan DPRD pada 16 Maret, Taufik
kembali membahas penurunan kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi minimal 5
persen. “Kami ingin memberi ambang batas minimal,” kata dia.
Untuk
mengajukan usul itu, Taufik memakai alibi bahwa BUMN yang mengelola pulau tak
akan sanggup membayar karena harus menyetor uang triliunan rupiah kepada
pemerintah. Ia juga menyebut kontribusi tambahan tak punya dasar hukum.
Partai-partai pendukung reklamasi kompak mendukung Taufik.
Tuty
berkilah bahwa kontribusi tambahan mengacu kepada Undang-Undang 30/2014 tentang
administrasi pemerintah. “Ada diskresi kepala daerah dalam soal itu,” kata dia.
Pemerintah ngotot bertahan dengan rumus itu, fraksi-fraksi juga kompak terus
menerus menyuarakan usul Taufik. Fraksi yang menolak mendukung pemerintah
bertambah. Rapat pun buntu.
Siasat
lain setelah gagal menggoyang besaran kontribusi, DPRD menawarkan pematokan
nilai jual objek pajak. Mereka setuju dengan rumus kontribusi tambahan, namun
nilai pajak ditetapkan saat ini. “Beberapa anggota Dewan menginginkan di bawah
perkiraan kami ,” kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Agus Bambang.
Pemerintah,
kata Agus, belum menentukan pajak nilai jual karena daratannya belum semua
terbentuk. Ia baru memperkirakan sebesar Rp 18-22 juta per meter persegi. Nilai
tersebut diperoleh Dinas Pajak dari nilai pajak daratan hasil reklamasi
terdekat dari Teluk Jakarta, yakni Pantai Indah Kapuk, saat ini. Pemerintah
memperkirakan nilai pajak saat mulai dijual nanti sekitar Rp 36 juta per meter.
“Perlu ada kajian lagi,” kata Agus.
Tak
hanya memakai banyak siasat menurunkan kontribusi tambahan, anggota DPRD juga
tak segan meminta suap kepada pemerintah. Setiap rapat pembahasan, Tuty kerap
mendengar celetukan anggota Dewan yang meminta “suplemen”. “Saya tidak tahu
artinya. Karena sering ada yang mengatakan itu, saya berniat bawa obat buat
mereka,” kata Tuty.
Ingard
Joshua mengaku mendengar banyak duit bertebaran di kalangan teman-temannya
sejak Desember 2015. Itulah waktu pertemuan Geng STOP dengan Aguan terjadi.
Politikus NasDem ini bahkan mendengar nilainya sekitar Rp 5 miliar yang disebar
kepada anggota DPRD yang mendukung reklamasi dan bersedia hadir dalam sidang
pengesahan.
Pengakuan
Ingard dibenarkan Fajar Sidik. Politikus Gerindra ini mengaku ditawari Rp 100
juta jika datang dan setuju Rancangan Perda Zonasi yang diinginkan oleh DPRD
pada 6 April. “Saya ditawari oleh orang partai,” katanya. Selain
uang, anggota Dewan yang menolak reklamasi juga diimingi-imingi diskon 50
persen jika kelak membeli bangunan di pulau reklamasi. Tawaran itu datang
kepada Fraksi Golkar. Bersama Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, mereka
menolak reklamasi. Ketika dikonfirmasi soal tawaran itu, Ketua Fraksi Golkar,
Ramli, tak menampik atau membenarkannya.
Semua
siasat itu gagal karena dua perda itu batal disahkan. Anggota Dewan jeri
penangkapan Sanusi merembet ke mana-mana. Apalagi dalam sidang Sanusi, jaksa
membuka sadapan percakapan Geng STOP tentang siasat mengorder pasal kontribusi
tambahan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat juga membatalkan
reklamasi Pulau G selamanya, sebelum keputusan yang sama diketuk Rizal Ramli.
#TempoInvestigasi
#ErwanHermawan
#MawardahHanifiyani
#PutriAdityowati