KELUARGAKU
dulu CHINA KAFIR, Seperti Kau Sering Teriakkan..!
Oleh:
Jaya Setiabudi
Tak
ada yang bisa memilih, kita akan lahir di rahim siapa, berkulit apa, dan
dimana. Saya Jaya Setiabudi, 7 bersaudara: 6 Muslim, 1 Nasrani. 5 orang menikah
dengan ‘pribumi’. Ayah masuk Islam di usia 73 tahun, setahun sebelum meninggal.
Ibu masuk Islam tahun lalu, di usia 79 tahun. Ayah dan Ibu suku Tionghoa atau
Anda sering menyebut dengan ‘CHINA’. Saya dan keluarga tak pernah teriak, “Si
Kafir itu…” kepada siapapun. Kenapa? Mau menyimak cerita saya?
Ayah saya adalah sosok nasionalis dan idealis tulen yang saya kenal. Cita- citanya menjadi ABRI tak terpenuhi, karena orang tuanya (kakek saya) tidak mengijinkan. Kakak pertama saya melanjutkan cita-cita itu sebagai ABRI. Kakak ketiga gagal menjadi ABRI, karena mata sedikit minus. Jika ditanya, “Papa nggak pingin jalan-jalan keluar negeri?”. Jawabnya, “Ngapain? Indonesia aja bagus, gak habis keliling Indonesia”. 18 tahun kerja di bank swasta, dengan prestasi terakhir menaikkan revenue perusahaan 20 kali lipat dalam 5 tahun menjabat, ‘dipaksa’ mengundurkan diri karena membela seorang karyawan baru ‘pribumi’, yang akan digeser oleh titipan direksi (tionghoa) yang rasialis.
Kemudian
beliau melanjutkan kerja di usia 50an sebagai manajer keuangan di suatu
perkebunan di Lampung. Percakapan yang paling saya ingat saat berkunjung
kesana, “Ya’ (panggilan saya), coba lihat, orang-orang (buruh) itu dibayar
dibawah angka kebutuhannya (UMR). Kalau mereka punya anak 3 atau lebih, nggak
akan cukup untuk hidup, maka mereka akan ‘maling’. Suatu saat, kalau kamu jadi
bos, jangan pernah bayar karyawanmu dibawah angka kebutuhannya.”
5
tahun bekerja sebagai manajer keuangan, ayah saya dikeluarkan, karena
membongkar sindikat koruptor yang melibatkan adik pemilik perusahaan. Saat
malam terakhir di Lampung, saya mendampingi dan mendengar takmir (pengurus)
masjid setempat berkata, “Kami sangat kehilangan Pak Untung (ayah saya). Selama
Pak Untung disini, ibadah kami Bapak permudah. Pak Untung sudah seperti orang
tua kami.”, air mata saya pun berlinang. Saat itu ayah saya belum memiliki
agama, masih Kong Hu Cu (tradisi).
Di
usia 55 tahun lebih, ayah melanjutkan bekerja di Purbalingga. Memilih tinggal
di rumah penduduk dan mengembalikan fasilitas mobil sedan. Saya pun bertanya,
“Kenapa papa balikin mobil itu? Kan bisa dipakai buat transportasi?”. Beliau
menjawab, “Nggak ah, malu. Lha wong mereka (buruh) masih dibayar dibawah UMR,
kok papa yang orang baru udah pakai mobil mewah. Gimana omongan papa akan
didengar mereka?”.
Akankah
Anda mengatakan “China Kafir” kepada ayah saya?
Sekarang
kisah saya..
Di
usia 7 tahun (1980), sejak pindah ke rumah yang ketiga, kami tinggal di lokasi
yang berdekatan dengan kampung di kota Semarang. Sungguh kaget, saat keluar
rumah, anak kampung setempat berteriak, “CHINO..!!”, dan langsung mengejar
kemudian memukuli saya bertubi-tubi. Bosan melarikan diri terus, saya mulai
melawan. Mau gak mau belajar berkelahi.
Saat
SD, kami sekeluarga disekolahkan di SD Katholik, alasan ayah saya, karena
disiplinnya bagus. Namun ayah saya ingin anak-anaknya berbaur, maka saat SMP,
kami semua masuk ke SMP negeri, dimana saat itu hanya 2 orang ‘keturunan’ satu
angkatan. Kami tak pernah merasa sebagai seorang ‘keturunan’. Ayah kami
mendidik kami anti rasialis. Hal itu dibuktikan, ayah saya mengasuh seorang anak
dari Bali, bernama I Gusti Made Gede, kuliah dan tinggal bersama kami selama 8
tahun. Sungguh kaget, saat kawan-kawan di SMP berteriak, “CHINO..!”. Dan saya
pun balas berteriak, “CHINO MATAMUU..!”. Perkelahian pun sering terjadi.
Sejarah
masuk Islam
Karena
di sekolah negeri, pelajaran ‘default’
agama adalah Islam, kakak pertama saya mempelajari dan tertarik untuk memeluk
Islam saat kelas 2 SMP. Kami, adiknya, satu-persatu masuk Islam saat masuk SMP,
kecuali kakak perempuan saya. Tentu saja ayah dan ibu saya belum Islam saat itu.
Lulus
kuliah, saya merantau ke Batam dan berjumpa dengan istri saya, yang saat itu
beragama nasrani. Kenapa istri saya mau mengikuti saya masuk Islam? Inilah
perkataannya, “Aku dulu (saat kuliah di Jakarta) sama sekali antipati dengan
orang Islam, karena orang-orang Islam yang kukenal, kasar dan rasialis. Waktu
ketemu kamu dan kenal kawan-kawanmu (yang muslim), baru aku melihat bahwa Islam
itu damai”.
Kakak
kami tertua tak pernah meminta kami mengikutinya masuk Islam. Saya pun tertarik
masuk Islam di usia 11 tahun, saat SD, karena melihat kakak-kakak saya sholat.
Begitu juga, ayah dan ibu saya, tak ada keterpaksaan masuk Islam. Saya
meyakini, agama itu adalah akhlaq yang harus ditunjukkan, bukan dalil yang
digemborkan.
Seandainya,
ayah saya mencalonkan menjadi gubernur, saat sebelum masuk Islam, maka saya
akan tetap memilih beliau, karena saya tahu, beliau adalah sosok pemimpin yang
bijak.
Anda
mungkin sudah menebak arah saya kemana. Ya, benar dan mungkin salah. Saya tak
memihak Ahok, karena saya tak mengenal beliau dan saya tahu politik terlalu
rumit untuk dipahami. Jika pun saya ber KTP Jakarta, maka saya akan memilih
Bang Sandiaga Uno, karena beliau adalah mentor saya dan saya ‘lebih’ mengenal
beliau. Tidak ada jaminan akan lebih baik dari Ahok.
Poin
saya adalah..
Saya
pernah KAFIR dan saya tak suka disebut KAFIR, juga CHINA. Ayah, ibu, kakak,
istri saya pernah KAFIR, dan mereka tak suka disebut KAFIR, juga CHINA. Maka
saya tak akan menggunakan kata-kata itu untuk Ahok atau siapapun. Memaki dan
menghujat tak membuat Islam lebih tinggi, justru Anda telah merendahkan Islam
dan memecah belah bangsa ini. Kalau Anda yakin Islam “rahmatan lil ‘alamiin”,
tunjukkan saja dengan akhlaq, bukan dengan beribu dalil. Hewan dan tumbuhan
saja harus kita sayangi, apalagi manusia. Kalau Anda yakin (dan saya yakin),
masih banyak pemimpin muslim yang pantas, tunjukkan saja siapa mereka dan apa
prestasinya untuk umat.
Bagi
Anda suku Tionghoa..
Kita
sudah belajar pahitnya jaman rasialis. Jangan Anda mempertahankan rasialis
Anda, dengan memilih Ahok karena suku atau agama. Pilihlah pemimpin yang adil,
siapapun itu. Terbukti yang membebaskan kita dari rasialisme bukanlah Soeharto,
namun seorang Kyai bernama Gus Dur.
Bagi
yang tak setuju..
Saya
tahu perdamaian adalah hal yang mustahil, karena selalu akan ada yang berdalih
dengan dalil untuk menyangkal. Benar dan salah itu nisbi di dunia ini, sampai
kita tahu kebenaran hakiki di akhirat kelak. Andaikan kelahiran Anda bertukar
rahim dengan saya, apakah sikap Anda akan seperti sekarang? Bukan dalilmu yang
membuatku berubah, tapi kesantunan akhlaqmu yang ingin kutiru. Kau tarik aku,
maka aku melawan. Kau rangkul aku, maka aku mengikutimu
0 komentar:
Posting Komentar