Dokumen
The Panama Papers mengungkap bagaimana Muhammad Riza Chalid, orang kuat di
balik transaksi minyak Zatapi yang merugikan Pertamina sebesar Rp 65,5 miliar
pada 2008 silam, membangun jejaring perusahaan offshore di British Virgin
Islands. Dari data pemilik saham perusahaan inilah, terungkap siapa yang
menangguk untung ratusan triliun rupiah dari impor minyak via Petral selama
bertahun-tahun.
Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menutup bibirnya rapat-rapat.
Sambil menggelengkan kepala, dia mengaku belum mau berkomentar. “Saya pelajari
dulu,” katanya. Sudirman sedang berada di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku
Utara, awal April 2016 lalu, ketika reporter Tempo bertanya soal apa tindakan
pemerintah menghadapi sejumlah perusahaan energi yang membuat struktur
perusahaan offshore di kawasan suaka
pajak. “Saya belum mau berkomentar, saya pelajari dulu,” katanya menegaskan.
Keberadaan
sejumlah perusahaan energi Indonesia di kawasan bebas pajak seperti British
Virgin Islands terungkap dalam bocoran dokumen internal firma hukum Mossack
Fonseca. Dokumen yang kini dikenal dengan nama The Panama Papers itu
dipublikasikan serentak di seluruh dunia pada awal April 2016 oleh lebih dari
100 media. Penggagas kolaborasi global ini adalah The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Tempo adalah satu-satunya media dari Indonesia yang tergabung dalam konsorsium
ini.
Dokumen
The Panama Papers pertama kali diperoleh koran Jerman Suddeutsche Zeitung pada
awal 2015. Data yang dikirimkan bertahap sampai mencapai 11,5 juta files ini
mencakup nama lebih dari 200 ribu perusahaan offshore di 21 kawasan suaka pajak. Ada hampir 900 individu dan
perusahaan yang berdomisili di Indonesia dalam daftar itu.
Sebuah
nama yang sudah dikenal malang melintang di dunia perminyakan Indonesia
tercantum jelas dalam dokumen The Panama Papers. Dia adalah Muhammad Riza
Chalid.
Muhammad Riza Chalid
Nama
tokoh misterius yang lebih suka menghindari media ini memang kerap muncul dalam
sejumlah isu nasional yang kontroversial. Majalah Tempo yang pertama kali
mengungkap keterlibatannya dalam skandal impor minyak Zatapi di Pertamina, pada
Maret 2008.
Belakangan,
nama Riza Chalid muncul dalam skandal korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk
elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri, skandal mafia impor minyak
Petral sampai kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam kisruh
perpanjangan kontrak Freeport di Papua.
Pada
dokumen Panama Papers, nama Riza muncul sejak 1998 silam. Penelusuran Tempo
menemukan sebuah sertifikat kepemilikan untuk perusahaan offshore bernama Epcots International Ltd yang ditandatangani oleh
dua orang pendirinya yakni: Riza Chalid dan pengusaha Rosano Barack. Perusahaan
offshore itu didirikan pada 2 Juli 1998,
dua bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Rosano
Barack dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Bambang Trihatmodjo, salah satu
anak Soeharto. Mereka bersama-sama mendirikan PT Bimantara Citra pada 1981.
Sampai sekarang, Rosano adalah Komisaris Utama PT Global Mediacom dan PT Media
Nusantara Citra (MNC), konglomerasi media yang dikendalikan pebisnis Harry
Tanoesoedibjo. Kelompok usaha itu memang mengakuisisi Bimantara pada 2007
silam.
Rosano Barack
Yang
menarik, Riza Chalid dan Rosano Barack bukanlah pemilik semua saham Epcots
International. Ada 10 nama lain yang disembunyikan dan hanya disebut sebagai ‘The Bearer’. Mereka semua menggunakan
alamat yang sama, yakni Chartwells Management Services di Singapura. Itulah kelebihan
yang ditawarkan firma hukum seperti Mossack Fonseca. Mereka bisa membuat
struktur korporasi dengan kerahasiaan berlapis, yang membuat kepemilikan asli
atau beneficial owner dari sebuah
perusahaan, nyaris tak bisa dilacak.
Jejak
terakhir Epcots terbaca pada Februari 2010 lalu. Kala itu, dua karyawan Mossack
Fonseca bertukar e-mail, memastikan bahwa perusahaan offshore itu masih aktif beroperasi. Mereka juga menegaskan bahwa
Epcots masih dikelola oleh Rosano dan Riza, dan bahwa perusahaan ini memiliki
50 ribu saham yang harga selembarnya hanya US$ 1,- saja. Yang menarik, dari
total jumlah saham itu, Rosano dan Riza masing-masing hanya memiliki lima
lembar saham.
Majalah
Tempo edisi 24 Maret 2008 menulis sebuah laporan investigasi berjudul ‘Ada Tapi
di Zatapi’. Liputan khusus yang dikerjakan selama lebih dari enam bulan itu
dengan gamblang mengungkap persekongkolan sejumlah pengusaha minyak dengan
oknum pejabat di Pertamina dalam jual beli minyak mentah campuran berkode
‘Zatapi’. Kongkalikong ini diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 65,5
miliar.
Impor
600 ribu barel minyak Zatapi senilai US$ 58,6 juta (Rp 545,9 miliar pada kurs
waktu itu) diatur secara lihai. Agar bisa lolos mengikuti tender di Pertamina,
setiap pemasok harus mengirim crude oil
assay atau uji kimia minyak mentah yang biasa dipakai untuk memperkirakan
nilai ekonomisnya. Data tersebut kemudian diuji oleh sebuah program komputer
bernama Generalized Refining
Transportation Marketing Planning System (GRTMPS). Hanya jenis minyak yang
lolos GRTMPS yang diperbolehkan bersaing dalam lelang.
Pada
Desember 2007, sebuah proses lelang impor minyak sudah dijadwalkan. Tapi
menjelang tenggat, data Zatapi belum juga diterima oleh Unit Optimalisasi
Pertamina untuk dimasukkan ke komputer. Unit inilah yang berwenang menginput
data minyak peserta tender.
Alih-alih
didiskualifikasi, Zatapi malah melenggang ikut lelang. Adalah Chrisna
Damayanto, ketika itu Vice President Perencanaan dan Pengelolaan Direktorat Pengolahan
Pertamina, yang menginput data crude oil
assay yang dia klaim sebagai milik Zatapi ke GRTMPS. Berkat campur tangan
Chrisna, jenis minyak mentah campuran itu bisa ikut tender dan bahkan menang.
Menurut
Chrisna, dia melakukan terobosan yang menguntungkan Pertamina. “Kalau keputusan
ini tidak tepat, resikonya saya tanggung,” ujarnya ketika itu. Berbeda dengan
perhitungan Tempo yang menghitung harga Zatapi kemahalan US$ 11,72 per barel,
Chrisna mengklaim Pertamina meraup profit karena mendapat potongan US$ 2,28 per
barel dari harga Tapis.
Pasca
laporan investigasi itu terbit, Maskas Besar Kepolisian RI sempat menetapkan
lima orang tersangka dari Pertamina maupun perusahaan pemasok Zatapi.
Belakangan kasus mereka dihentikan lantaran audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus impor
Zatapi.
Siapakah
orang-orang di balik impor Zatapi? Pembelian minyak campuran itu dikendalikan
oleh sebuah perusahaan bernama Gold Manor International Ltd. Perusahaan itu
dikelola oleh Muhamad Riza Chalid, Johnny Gerard Plate, Irawan Prakoso dan
Schiller Marganda Napitupulu. Selain menggunakan bendera Gold Manor, mereka
juga beroperasi dengan nama Global Energy Resources Pte. Ltd. Di Singapura,
alamat Gold Manor sama dengan Global Energy, yakni di 1 Kim Seng Road, #15-01,
East Tower, Great World City.
Johnny Gerard Plate
Selama
bertahun-tahun, Global Energy adalah pemasok utama minyak ke tanah air. Laporan
Kajian Restrukturisasi Pertamina pada 16 Juli 2007 mengungkapkan bahwa Global
Energy merupakan pemasok terbesar (33,3 persen) minyak mentah ke Pertamina
Energy Services Ltd. (PES) di Singapura. Pertamina Energy Services (PES) adalah
anak usaha Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Semua impor minyak ke
Indonesia memang waktu itu diatur oleh Petral.
Siapa
pemilik Gold Manor dan Global Energy? Sulit diendus jejaknya. Pasalnya, kedua
perusahaan ini merupakan perusahaan offshore
yang didaftarkan di British Virgin Islands. Tempo hanya bisa melacak pemilik Global
Energy sampai lapis kedua yakni sebuah perusahaan cangkang lain bernama Orion
Oil Limited. Tapi siapa di balik Orion Oil tetap jadi misteri. Nama
perusahaan-perusahaan ini tak ada di Panama Papers.
Setelah
skandal Zatapi terkuak, rupanya peruntungan Riza Chalid tak serta merta
terpuruk. Dia tetap mengendalikan impor minyak Pertamina, lewat Global Energy
Resources. Hal ini baru terungkap pada November 2015 lalu, ketika Menteri
Energi Sudirman Said menyewa jasa sebuah kantor auditor internasional untuk
memeriksa Petral.
KordaMentha
adalah nama auditor yang disewa pemerintah. Mereka berkantor di Australia.
Setelah menelisik ribuan dokumen dan mewawancarai sejumlah tokoh kunci,
KordaMentha menyimpulkan bahwa impor minyak Indonesia lewat PES dan Petral,
merugikan negara lebih dari Rp 100 triliun.
Modus
para mafia minyak itu kini terungkap jelas. Dalam laporan audit KordaMentha
yang tebalnya mencapai 370 halaman, auditor mengungkapkan bagaimana Global
Energy dan sebuah perusahaan lain bernama Veritaoil selalu bertindak curang
dalam tender-tender Petral sejak 2012.
Sejak
awal, sebelum tender dibuka, kedua perusahaan ini sudah mendapatkan semua data
rahasia proses pengadaan, termasuk harga perkiraan sendiri untuk tender minyak
yang akan berlangsung.
Data
rahasia tersebut bocor dengan bantuan orang dalam Pertamina, melalui sebuah
grup e-mail bernama trading88@ymail.com. Auditor mencurigai lima staf PES
terlibat persekongkolan untuk membocorkan informasi tersebut. Berdasarkan
informasi itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Pertamina menutup Petral.
Penelusuran
Tempo atas nama Gold Manor, Global Energy Resources dan Orion Oil di Panama
Papers memang berakhir buntu. Tak ada informasi soal ketiga perusahaan offshore ini di dokumen bocor Mossack
Fonseca. Amat mungkin pendirian ketiga perusahaan itu tidak menggunakan jasa Mossack
Fonseca.
Akan
tetapi, pelacakan atas jejak pebisnis minyak yang mengelola tiga perusahaan itu
membuahkan hasil. Nama Muhamad Riza Chalid, Johnny Gerard Plate, dan Irawan
Prakoso, bertebaran di dokumen Panama Papers. Hanya nama Direktur Utama Gold
Manor, Schiller Napitupulu, yang absen.
Irawan
Prakoso adalah Direktur Global Energy Resources. Di Panama Papers, terungkap
kalau dia juga punya saham di sebuah perusahaan offshore bernama Twinn International Ltd yang juga berkedudukan di
BVI. Perusahaan satu dolar AS milik Irawan ini berdiri pada 1 Juni 2007.
Sedangkan
pelacakan atas nama Riza Chalid dan Johnny Gerard Plate, menemukan sebuah
perusahaan offshore bernama Gainsford
Capital Ltd. Di dalam perusahaan yang berkantor di British Virgin Islands
tersebut, ada orang ketiga yang kerap disebut dalam percakapan internal.
Namanya
Nai Song Kiat, seorang warga Singapura. Mengacu pada dokumen audit KordaMentha,
Nai Song Kiat merupakan Direktur Veritaoil Pte Ltd. Perusahaan Nai termasuk
yang dituduh menjarah Petral selama bertahun-tahun.
ID Card Nai Song Kiat
Gainsford
didirikan di British Virgin Island pada 2001. Modal dasar perusahaan ini US$ 50
ribu, yang dipecah dalam 50 ribu lembar saham biasa. Tujuh tahun kemudian, pada
8 April 2008, Riza Chalid dan Johnny Plate memutuskan untuk mengalihkan saham
mereka, masing-masing 75 dan 25 lembar, kepada Nai Song Kiat.
Tak
hanya menyerahkan saham pada Nai Song, pada April 2008 itu, para pemegang saham
juga menunjuk seorang direktur baru, menggantikan pejabat lama, Fernandez
Patrick Charles. Direktur baru ini hanya punya satu nama: Eddie. Yang jelas,
jika direktur lama adalah warga Singapura, maka penggantinya adalah orang
Indonesia kelahiran Medan, Sumatera Utara.
Selain
memiliki Gainsford Ltd, Johnny Plate juga tercatat sebagai pemilik Serenity
Capital Ltd, sebuah perusahaan offshore
yang beralamat di British Virgin Island. Tapi soal ini, Johnny Plate membantah.
“Kenal aja enggak. Enggak ada aset. Urusan apa kita,” kata Johnny.
Yang
sepak terjangnya paling lincah memang Riza Chalid sendiri. Menurut dokumen
Panama Papers, dia memiliki beberapa perusahaan di kawasan suaka pajak. Selain
Gainsford, dia tercatat menjadi pemegang saham pada Tanc Pasific Ltd.
Perusahaan ini dia miliki bersama sepuluh pemegang saham lain yang hanya
ditandai dengan istilah “bearer”. Artinya,
pemilik asli perusahaan itu keberatan jika namanya disebut.
Nama
Riza Chalid juga muncul sebagai pemilik atau pemegang saham perusahaan cangkang
lain seperti Sunrich Capital Ltd dan Cresswell International Ltd. Di perusahaan
yang disebut terakhir, Riza berbagi saham dengan anaknya: Muhammad Kerry
Adrianto.
Ihwal
kepemilikan saham putra Riza terungkap pada November 2007, ketika Mossack
Fonseca mengirim email pada Riza Chalid. Isinya adalah penegasan bahwa pada
tanggal itulah, Muhammad Kerry Adrianto, putra sulung Riza Chalid, resmi
mendapat pengalihan saham Cresswell. Dia hanya perlu membayar US$ 490 untuk 490
lembar saham, karena harga selembar saham perusahaan itu memang hanya US$ 1,-.
Meski begitu, Riza mempertahankan posisi strategis sebagai pemegang saham
terbesar dengan 510 lembar.
Sayangnya
upaya mengkonfirmasi data Panama Papers ini kepada Riza Chalid tidak membuahkan
hasil. Riza menghilang sejak Kejaksaan Agung memanggilnya dalam kasus dugaan
pencatutan nama Presiden Joko Widodo. Surat ke alamatnya, juga tidak dibalas.
Kepemilikan
seseorang atas perusahaan offshore
memang tidak serta merta bisa disebut pelanggaran hukum. Namun, tabir
kerahasiaan dan perlindungan kawasan suaka pajak memungkinkan perusahaan offshore digunakan untuk menyembunyikan
kekayaan dan kejahatan. Tanpa dokumen bocor The Panama Papers, sepak terjang
orang-orang yang ditengarai melanggar hukum di daftar klien Mossack Fonseca
bisa jadi tak akan pernah terungkap selamanya.
Laporan ini ditulis dan disiapkan oleh : Bastian Obermayer, Gerard
Ryle, Marina Walker Guevara, Michael Hudson, Jake Bernstein, Will Fitzgibbon,
Mar Cabra, Martha M. Hamilton, Frederik Obermaier, Ryan Chittum, Emilia
Díaz-Struck, Rigoberto Carvajal, Cécile Schilis-Gallego,Marcos García Rey,
Delphine Reuter,Matthew Caruana-Galizia, Hamish Boland-Rudder, Miguel Fiandor and
Mago Torres.
Di Indonesia, tim Tempo yang
terlibat adalah Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Agoeng Widjaya dan Mustafa
Silalahi. (*)