Jika melihat
pemberitaan selama ini, Myanmar atau sebagian orang memilih menyebutnya Burma mengalami
momen penting setiap tahunnya sejak bekas rezim militer membuka diri pada 2011.
Dengan bangkitnya demokrasi, inilah saat yang tepat untuk
mengunjungi Burma. Dimulai dari Yangon, atau dulunya disebut Rangoon, kota yang
sedang mengalami kebangkitan.
Sebelum jatuh ke tangan Inggris pada awal abad ke-18, Kerajaan
Burma adalah salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, dengan warisan
arsitektur, sastra dan seni berusia 2.000 tahun. Sejarah dan kekayaan itu
tersimpan di bagian tengah dan utara Burma, yakni di Bagan dan Mandalay. Ketika
Ralph Fitch, orang Inggris pertama yang mengunjungi Burma, tiba tahun 1587, Rangoon
adalah sebuah desa nelayan kecil, yang didominasi Pagoda Shwedagon yang dilapisi
emas berkilauan.
Di bawah kekuasaan Inggris, 1824-1948, ketika Myanmar meraih
kemerdekaannya, bangunan-bangunan megah dibangun di jalan-jalan di Yangon.
Mungkin yang paling ikonis adalah bangunan bata besar yang dijadikan Gedung Sekretariat, di mana pada tahun 1947, Jenderal Aung San, bapak Myanmar
modern dan ayah dari Daw Aung San Suu Kyi, dibunuh.
Junta militer, yang mengambil alih kekuasaan dan memerintah
negara itu tahun 1962-2011, menghancurkan 35 persen dari pusat Yangon atau
sekitar 1.800 bangunan, menurut Yangon Heritage Trust, untuk menciptakan ruang
bagi pengembangan baru yang megah. Namun kini sebuah proyek pelestarian sedang
berlangsung, dan di bawah pemerintahan demokratis yang baru terpilih, ada harapan
189 bangunan bersejarah yang tersisa bisa diselamatkan.
Selain itu ada harapan akan perubahan yang jauh lebih besar,
dan optimisme nyata yang terasa sejak kembalinya demokrasi lima tahun lalu,
menyelimuti jalan-jalan kumuh di kota yang dulunya megah ini. Atmosfernya yang
menggairahkan sangat jelas terlihat di pagoda-pagoda di kota itu.
Pada Minggu sore masyarakat setempat yang bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian
terbaik mereka berziarah ke situs Buddha paling suci di Myanmar,
yakni Pagoda Shwedagon
yang berlapis emas berkilauan dan telah berusia 2.500 tahun. Mereka berlutut sejenak dan menyalakan lilin, menaruh dupa dan
menyiramkan air ke kuil di dasar pagoda.
Walaupun pemalu, warga Burma sangat murah hati dan tidak pelit
memberikan senyuman lebar dan hangat mereka. Dan kini kebahagiaan itu kian
terlihat dari sinar mata mereka, kebahagiaan karena tak lagi berada di bawah
kediktatoran represif sebelumnya. Ada rasa bahagia dan harapan yang merebak dan
Anda bisa melihatnya dengan jelas di pagoda-pagoda di Burma. Mereka
bersyukur karena doa-doa mereka untuk perdamaian, perubahan dan kemakmuran
akhirnya terjawab.
Maret adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Yangon. Ada
Festival Tabaung, bulan terakhir dalam kalender Burma yang menandai akhir musim
dingin. Secara tradisional, Tabaung di pedesaan adalah waktu berakhirnya panen
dan petani bias beristirahat sejenak. Kapal-kapal pengangkut akan berlayar dan
beragam festival lokal diadakan di tepi sungai yang dihiasi stupa-stupa dari pasir.
Di Yangon, pada pagi hari bulan purnama Tabaung, warga kota
akan langsung menuju Pagoda Shwedagon untuk melakukan kebaikan dengan
memberikan sedekah kepada para biksu Buddha. Tabaung tahun 2016 sepertinya bakal
lebih meriah berkat perubahan dalam pemerintahan baru-baru ini, serta
kegembiraan menyusul pemilu yang masih terasa hingga Tahun Baru.
Perubahan yang perlahan mulai meraih momentumnya setelah 2011,
kini bergerak semakin cepat dan tidak hanya terlihat dari meningkatnya kedatangan
wisatawan, tetapi juga pembangunan hotel-hotel baru, restoran, kafe, dan
galeri-galeri yang bermunculan di sekitar kota.
Pembangunan dan kemakmuran yang menyertai perubahan ini paling
jelas terlihat di Bahan (nama yang digunakan warga Burma untuk menyebut
pinggiran kota mereka), di mana mobil-mobil mahal diparkir di jalan masuk rumah-rumah
mewah, sementara pusat perbelanjaan bermunculan. Daerah tempat berdirinya
Pagoda Shwedagon dan banyak pagoda serta kuil berkilauan lainnya, yang
dinamakan “Golden Valley”, ini juga menjadi lokasi hunian warga kaya,
konglomerat dan selebriti.
Dalam beberapa tahun terakhir, Yangon telah menyaksikan
berbagai pembangunan mulai dari The Loft, sebuah hotel bergaya New York yang chic dan menjadi destinasi para hipster dan jetsetter, hingga Best Western yang menyasar kalangan pelancong bisnis.
Kafe-kafe dan restoran modern, seperti Le Planteur, Rangoon Tea House, Gekko, Hummingbird,
The Lab dan Port Autonomy dipadati pengunjung, baik lokal, ekspatriat, maupun
wisatawan, yang menikmati koktail sambil menyantap beragam hidangan mulai dari
masakan mewah Perancis sampai hasil olahan kreatif dari masakan tradisional
Burma.
Seiring dengan pemulihan demokrasinya, aturan sensor di Burma
pun diperlonggar, sehingga memungkinkan perkembangan seni dan budayanya. Pada
malam-malam tertentu, Anda dapat menyaksikan acara komedi, penampilan band rock, atau pembukaan pameran seni di
galeri-galeri, seperti Pansodan, Deitta Gallery, Nawaday Art Gallery, dan River
Gallery di The Strand.
Yangon telah bergerak jauh dari akarnya sebagai desa nelayan
Mon yang disebut Dagon pada abad ke-6, saat Pagoda Shwedagon baru dibangun di
puncak bukit Singuttara. Jika Anda mengunjunginya, pastikan Anda membawa kamera
dan tripod untuk mengambil gambar di sekitar kota dan juga Pagoda Emas dengan
segala keindahannya yang berkilau, karena dalam lima tahun lagi tempat itu akan
berubah.
#VisindoAgensiTama
0 komentar:
Posting Komentar