Naskah Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 kini antara ada dan tiada. Tidak ada seorang pun di
negeri ini yang secara terang- terangan menyatakan menyimpan naskah tersebut.
Kalaupun ada, sejauh mana kebenarannya? Arsip Nasional Republik Indonesia pun
menyimpan tiga naskah yang sempat diduga sebagai naskah otentik Supersemar
meski ternyata tidak otentik.
Pusat
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri yang telah menyatakan ketiga
naskah itu tidak otentik. Naskah itu pun didapatkan Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) dari Sekretariat Negara, dari Pusat Penerangan TNI AD, dan
dari Yayasan Akademi Kebangsaan.
Hari
ini, tepat lima puluh tahun sejak Soekarno menerbitkan Supersemar, pencarian terus
dilakukan. Arsip Nasional Republik Indonesia telah membentuk tim khusus untuk
mencari dokumen tersebut. Tim itu siap meluncur jika ada informasi apa pun
terkait keberadaan dokumen Supersemar.
Sejarawan
Asvi Warman Adam menegaskan, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan telah memuat ketentuan Daftar Pencarian Arsip. "Dengan ketentuan
itu, maka petugas arsip dapat saja memeriksa rumah mantan Presiden Soeharto di
Jalan Cendana. Siapa tahu ada arsip itu di sana," ujarnya.
Soeharto,
kata Asvi, tergolong orang yang sangat memedulikan penyimpanan barang-barang
yang dianggap penting. Selama Soeharto berkuasa, dia juga menyimpan bendera
pusaka di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta.
Pencarian
Supersemar pun cukup semarak-setidaknya dalam catatan Asvi. Dalam sebuah
pertemuan eks Tentara Pelajar di Jakarta pada tahun 2000, Asvi mendapatkan
naskah Supersemar yang ditulis tangan oleh Bung Karno. Naskah itu diberikan
oleh sekretaris mantan Menteri Penerangan era Orde Lama. Namun, Asvi meragukan
tanda tangan Bung Karno dalam surat itu.
Tahun
2012, seorang putra kiai di Jawa Timur menghubungi Asvi untuk menginformasikan
keberadaan dokumen asli Supersemar yang dipigura di kamar tamunya. Menurut dia,
naskah itu dibawa oleh Mayor Jenderal Sudjono Humardani, penasihat spiritual
Soeharto. Namun belakangan, ANRI telah menyatakan dokumen itu adalah hasil
fotokopi.
Tahun
2014, Asvi ditemui seorang perempuan Indonesia yang bermukim di Australia.
Perempuan yang pernah menjadi sekretaris Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat
tersebut mengaku membeli lukisan dari sebuah rumah lelang di India. Lukisan itu
pernah menjadi milik Dewi Soekarno yang diberikan oleh Bung Karno sendiri.
Di
balik lukisan itu konon tersimpan tembusan Supersemar. "Kalaupun benar, ya
itu hanya tembusannya. Bukan surat yang asli," ujar Asvi.
Mencari konteks
Menurut Daniel Dhakidae, penulis buku Menerjang Badai Kekuasaan, kini tidak penting lagi ada atau tidak adanya dokumen
Supersemar. "Yang jelas ada adalah konsekuensinya yang begitu brutal.
Jadi, lebih baik kita mencari konteksnya saja," ujarnya.
Salah satu
dampak dari Supersemar, kata Daniel, mengubah masyarakat dan sejarah Indonesia.
Ada jungkir balik dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Perdebatan pun tidak
lagi soal imperialisme atau kolonialisme, tetapi soal terlibat atau tidak
terlibat Gerakan 30 September 1965. Juga ada pengelompokan antara "bersih
diri versus tidak bersih diri" atau "bersih lingkungan versus tidak
bersih lingkungan".
Dengan
demikian, Daniel meminta supaya hal-hal terkait peristiwa Supersemar lebih baik
dihapuskan saja dari buku sejarah untuk sekolah dasar dan sekolah menengah.
"Kalau untuk dunia kampus, ya biarkan saja karena mereka sudah dapat
berpikir lebih baik," ujarnya.
Walau Daniel
menyatakan tidak penting lagi untuk mencari dokumen Supersemar, tetapi dia
mendukung jika ada peneliti dan penulis buku yang hendak mencarinya. Namun,
Daniel tetap mengibaratkan pencarian dokumen Supersemar seperti pekerjaan
mencari hantu.
Simpang siur
Kisah seputar
penerbitan Supersemar adalah sebuah kisah yang simpang siur. Beberapa biografi
dari tokoh-tokoh nasional yang berperan pada era itu juga tidak menampilkan
satu cerita yang sama.
Ada pertanyaan
misalnya, apakah tiga jenderal, yakni Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan Amir
Machmud, bertemu dengan Soeharto terlebih dahulu sebelum menekan Soekarno untuk
menerbitkan Supersemar? Ataukah, Soeharto bersikap pasif dalam proses
penerbitan Supersemar?
Namun Jusuf
Wanandi dalam buku Menyibak
Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Penerbit Buku
Kompas, 2014) menulis tiga jenderal itu terlebih dahulu menemui Soeharto di
Jalan Agus Salim, Jakarta. "Apa yang harus kami lakukan?" kata tiga
jenderal itu.
Soeharto pun
memerintahkan mereka ke Istana Bogor. "Katakan kepada Soekarno, kalau dia
memercayakan kewenangannya kepada saya, maka saya akan menjamin stabilitas
nasional dan keselamatannya," ujar Soeharto.
Menurut Asvi,
yang kemudian diperkuat dalam otobiografi Hasjim Ning, Pasang Surut Penguasa Pejuang
(1986), pada 9 Maret 1966 malam, Soeharto telah mengutus pengusaha Hasjim Ning
dan M Dasaad untuk membujuk Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada
Soeharto.
Namun,
Soekarno menolak. Soekarno mengatakan, "Kamu juga sudah pro
Soeharto?!" Kemudian, Soekarno melemparkan asbak ke arah dua pengusaha
tersebut.
Setelah
Soekarno akhirnya menandatangani Supersemar, ada kontroversi lain soal apakah
tiga jenderal itu melaporkan Supersemar ke kediaman Soeharto di Jalan Agus
Salim atau apakah dokumen Supersemar dibawa langsung ke markas Kostrad? Belum
ada kata final soal ini.
Soekarno tidak sadar
Aiko Kurasawa,
penulis buku Peristiwa
1965: Persepsi dan Sikap Jepang melakukan penelitian yang antara
lain bersumber dari Dewi Soekarno, memperlihatkan bahwa Dewi pun sempat tidak
menyadari dampak dari Supersemar terhadap kekuasaan suaminya. Boleh jadi, sikap
Dewi yang ketika tetap percaya diri dipengaruhi oleh sikap Soekarno yang tidak
merasa kekuasaannya sedang di ujung tanduk.
Belakangan,
kata Aiko, Dewi Soekarno menyadari kekalahan Soekarno setelah Soeharto
menawarkan tiga opsi melalui dirinya. Ketika bermain golf dengan Soeharto pada
20 Maret 1966, Dewi mendapatkan tiga usulan dari Soeharto.
Pertama, pergi
ke luar negeri untuk beristirahat. Kedua, tetap tinggal sebagai Presiden walau
hanya sekadar sebutan Presiden saja (tanpa kekuasaan). Ketiga, Soekarno diminta
mengundurkan diri secara total dari posisi Presiden.
Dalam bukunya,
Aiko mengutip Asashi
Shimbun edisi 23 Maret 1966 bahwa Soeharto menyarankan supaya
Soekarno beristirahat di Jepang atau Mekkah.
Media-media
Jepang,
kata Aiko, bahkan dari bulan Januari 1966 sudah berspekulasi bahwa
Soekarno mungkin akan meninggalkan Indonesia dan pindah ke Jepang
bersama Dewi sebagai
tempat pengasingannya. Spekulasi itu akhirnya tidak pernah terjadi dan
Soekarno
tetap di Indonesia hingga wafat.
Terlepas dari
ada atau tidaknya naskah asli Supersemar, tiap tanggal 11 Maret sebagian warga
negeri ini tetap mengenang atau setidaknya terkenang dengan Supersemar.
Kenangan itu tidak hanya bagi mereka yang hidup di zaman itu, tetapi juga bagi
anak dan cucu dari tokoh-tokoh yang terdampak dari hadirnya Supersemar.
Bagi Asvi,
pencarian naskah asli Supersemar harus dilanjutkan demi kepentingan korban
tragedi 1965-1966. Bagi Asvi, ditemukannya naskah asli Supersemar adalah bagian
dari pencarian terhadap kebenaran yang didambakan oleh keluarga korban.
Bahkan hingga
hari ini, kata Asvi, ada seorang artis terkenal yang tidak pernah mengungkapkan
jati dirinya sebagai cucu dari seorang tokoh yang terstigma oleh peristiwa 30
September 1965. Nenek dari artis tersebut pun terasing akibat pembubaran Partai
Komunis Indonesia, yang mendapatkan legitimasi yuridis dari Supersemar.
#HaryoDamardono
0 komentar:
Posting Komentar