Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, sudah
mengambil keputusan: maju dalam pilkada 2017 melalui jalur independen.
Ahok maju melalui perseorangan, karena ia tak mau
berlama-lama digantung parpol, PDIP khususnya. Ahok semula ingin maju
berpasangan dengan Wagub inkamben, Djarot Saiful Hidayat, yang juga pengurus
DPP PDIP. Untuk itu ia sempat melobi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Namun PDIP seperti tak mau ditekan Ahok, sehingga tak
memberi jawaban jelas apakah Djarot direstui menjadi pasangan Ahok atau tidak.
Akhirnya, Ahok melepas Djarot, dan menggandeng Kepala Badan Pengelola Keuangan
dan Aset Daerah/BPKAD), Heru Budi Hartono, sebagai calon wakilnya.
Keputusan Ahok maju dari jalur perorangan, sesungguhnya
keputusan yang rasional. Sebab, ia punya modal yang cukup kuat. Yaitu dukungan
komunitas Teman Ahok. Sekumpulan anak muda kuliahan ini, sudah berhasil
mengumpulkan 774.452 KTP dukungan. Sesuai UU Pilkada, calon independen bisa
maju dengan dukungan sebesar 10 persen dari jumlah pemilih. Di DKI Jakarta,
dibutuhkan sekitar 525.000 KTP.
Namun entah mengapa, keputusan Ahok ini bagi PDIP, ibarat
pukulan hook, yang menggoyahkan kemapanannya. Sekretaris DPD PDIP
Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, usai dipanggil Megawati memberi penyataan
keras. Ia menilai calon gubernur yang maju dari jalur independen adalah cermin deparpolisasi. Yaitu menjauhkan
fungsi parpol. PDIP akan melawan deparpolisasi itu.
Sekadar catatan, bukan kali ini saja tudingan
deparpolisasi diungkapkan PDIP. Saat Kongres PDIP di Bali tahun lalu, Megawati
juga mengatakan ada upaya memunculkan gerakan deparpolisasi. Gerakan ini akan
mengikis peran parpol dalam pemerintahan.
Benarkah calon kepala daerah yang maju dari jalur
independen melakukan deparpolisasi? Sepertinya sangat berlebihan. Jalur
independen adalah legal. UU Pilkada yang dibuat pemerintah dan DPR--termasuk
PDIP tentunya--membolehkan seseorang maju dalam pilkada tanpa dukungan parpol. UU Pilkada pasal 39, menyebut calon dari jalur perseorangan.
Di DKI, Ahok juga bukan orang pertama yang maju dari
jalur perseorangan. Faisal Basri berpasangan dengan Biem Benyamin adalah calon
independen dalam pilkada DKI 2012.
Ahok juga bukan pelopor, calon inkamben yang semula
diusung parpol, namun kemudian memilih jalur independen. Rita Widyasari, Bupati
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sudah mendahuluinya. Ia memilih jalur
perseorangan, setelah Golkar, parpol tempatnya bernaung tak kunjung memberi
kejelasan tentang pencalonannya. Dia pun menang dalam pilkada 2015.
Bahwa saat ini fenomena majunyanya calon dari jalur
perseorangan, mulai menyebar di beberapa daerah, harus diakui. Catatan di KPU
menunjukkan sebanyak 137 calon independen maju pada Pilkada 2015.
Artinya, majunya seseorang menjadi calon kepala daerah
melalui jalur independen, tak ada kaitannya dengan deparpolisasi. Malah
sebaliknya, bisa menjadi introspeksi bagi parpol, terutama dalam proses
penjaringan calon kepala daerah. Bukan rahasia, banyak parpol kekurangan kader
yang layak dimajukan menjadi calon kepala daerah.
Itu tercermin dalam pilkada 2015 lalu. Dari 269 (5 daerah
ditunda ke 2017) ada 827 pasangan calon, yang diusung parpol 690 pasang.
Sisanya dari independen. Untuk menambah jumlah calon kepala daerah, parpol
menjaring figur di luar parpol yang punya kapabilitas.
Namun sayangnya parpol memposisikan sebagai, institusi
politik paling dibutuhkan oleh tokoh yang ingin menjadi calon kepala daerah.
Bukan sebaliknya, parpol yang butuh figur terbaik di luar parpol. Akibatnya,
bukan rahasia, parpol menghalalkan pungutan uang mahar, agar
seseorang diusung menjadi calon kepala daerah.
Deklarasi Ahok maju dari jalur perseorangan, semestinya
bisa dilihat dengan kaca mata positif bagi parpol, dan menjadi koreksi. Selama
ini parpol punya mekanisme kaku dalam menyeleksi figur yang layak diusung
menjadi calon kepala daerah. Parpol pasif, menunggu figur yang datang
mendaftar, bukan proaktif mencari.
Rekam jejak, kinerja dan kemampuan memimpin seseorang
yang tak diragukan oleh masyarakat, seperti dimiliki Ahok, bisa hilang begitu
saja ketika dibawa dalam lingkaran setan manajemen internal parpol. Dan di
situlah sesungguhnya parpol telah gagal menyelami nurani politik masyarakat.
Namun keputusan Ahok maju secara independen, belum bisa
dikatakan final. Sebab Ahok belum mendaftarkan pencalonannya tersebut ke KPU.
Karena pendaftaran calon kepala daerah 2017 belum dibuka. Bahkan tahapan
pilkada 2017 pun belum ditetapkan oleh KPU.
KPU baru menyerahkan draft tahapan ke DPR, Senin (7/3/2016)
untuk dibahas. Ada kemungkinan besar, tahapan tidak bisa diputuskan segera,
mengingat dasar pembuatan tahapan adalah UU No. 8/2015 tentang Pilkada. Sementara DPR saat ini tengah
melakukan revisi UU tersebut.
Artinya deklarasi Ahok ini bisa dikatakan sebagai sebuah
manuver politik yang dilakukan pada dini hari pilkada 2017. Semuanya tentu bisa
berubah seiring waktu, karena memang tak ada yang abadi dalam politik.
Parpol masih bisa dengan jernih melihat kembali potensi
Ahok dari berbagai survei. Lembaga survei Kedai KOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini
Publik Indonesia) misalnya, menemukan tingkat popularitas Ahok 98,5 persen
sedang tingkat elektabilitasnya 43,5 persen. Sementara survei Populi Center,
menyebut elektabilitas Ahok mencapai 59 persen. Di dua survei tersebut
Ahok tertinggi dibanding sejumlah nama yang sering disebut media bakal
meramaikan pilkada di Ibu Kota Negara ini.
Masalahnya tinggal di Ahok. Dia sudah merasa nyaman
dengan dukungan Teman Ahok yang tak memungut mahar, bahkan tak menyodorkan
calon wakil gubernur. Bila parpol mau melakukan hal yang sama, rasanya Ahok
juga tak menolak. Sebab akan memperkuat legitimasinya: didukung komunitas dan
didukung parpol.
#BeritaTagar
0 komentar:
Posting Komentar