Kakek
itu tersenyum-senyum sendirian, ketika menonton televisi di rumahnya. Apa yang
membuatnya tersenyum? Tak lain dan tak bukan, tentang kantung plastik berbayar
yang mulai diberlakukan di pasar-pasar berlabel “market”. Setiap pembeli yang
memakai kantung plastik di mini market, super market dan hypermarket sekarang
harus membayar. Kelak, paraturan ini akan diberlakukan juga di pasar-pasar
tradisional.
Cuma,
si kakek menyayangkan, yang dibayar pembeli terlalu murah, yakni Rp 200.
Sehingga, kendati merasa terpaksa, konsumen masih bisa mengecilkan arti sebuah
kantung plastik bekas. Jadi, tetap saja, setelah dipakai dibuang. Dan itu akan
menyebabkan sampah plastik, yang menjadi kegalauan pemerintah dan penggiat
lingkungan hidup, tak berkurang.
Lain
halnya kalau mengikuti saran Gubernur DKI Jakarta yang semula akan mematok
“harga” kantung plastik Rp 5 ribu. Atau rencana Walikota Bandung Ridwan Kamil,
yang akan memasang harga Rp 2.000. Kalau itu diterapkan, pasti, pemakaian
kantung palstik akan berkurang banyak. Sebab, sedikit banyak, orang akan
“menyayangi” kantung plastik yang dimilikinya untuk bisa digunakan ulang.
Si
kakek tersenyum. Pikirannya, kembali ke masa lima puluh tahun lalu, ketika
katung plastik belum menjadi ‘raja’ seperti sekarang. Waktu itu, hidupnya ia
gantungkan ke daun jati. Ia menjual ke warung-warung di pasar, yang masih menggunakan
daun jati sebagai bungkus. Sayang, keberadaannya tak lama. Kejayaan si daun
jati pudar oleh hadirnya kemasan plastik.
Nasih
serupa juga dialami oleh kantung kertas, yang sengaja dibuat dari kertas-kertas
bekas koran, kantung semen, bahkan kertas bekas buku tulis. Semua habis
tergilas plastik.
Nah,
kini giliran plastik yang akan digilas dan digantikan entah oleh apa. “Ini
namanya hukum karma,” gumam si kakek. Tapi terlepas dari dendam seorang bekas
pedagang daun jati, upaya pengurangan sampah plastik punya alasan yang jelas.
Jenis
sampah ini, memerlukan waktu yang sangat panjang -50 s/d 100 tahun- untuk
mengurainya. Dan jangan salah, Indonesia masuk dalam peringkat kedua di dunia
sebagai penghasil sampah plastik yang dibuang ke laut setelah China.
Dirjen
Pengelolan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK mengatakan total jumlah sampah Indonesia
di 2019 akan mencapai 68 juta ton. Dan sampah plastik diperkirakan akan
mencapai 9,52 juta ton atau 14% dari total sampah yang ada. Untuk itu,
KLHK menargetkan pengurangan sampah plastik lebih dari 1,9 juta ton hingga
2019.
Sementara
Asosiasi Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyebutkan,
konsumsi produk plastik di Tanah Air pada tahun lalu mencapai 4,7 juta ton.
Dari jumlah tersebut, 30%%-nya merupakan produk plastik kemasan. Berarti
dalam setahun ada sebanyak 1,5 juta ton sampah plastik.
Angka
ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Wakil Ketua Umum Inaplas Budi Susanto
Sadiman memperkirakan konsumsi plastik masih akan tumbuh sekitar 6%-7%
pada tahun ini sekalipun pemerintah menerapkan kebijakan kantong plastik
berbayar di ritel-ritel modern.
Jadi?
Kendati jumlah sampah plastik akan bertambah walaupun ada upaya pengurangan,
tak ada salahnya pemerintah mencoba. Siapa tahu bermanfaat? Kalau kelak
terbukti kebijakan ini tak ada gunanya, ya tak ada pilihan lain, tutup saja
pabrik plastik.
#Reviewweekly
0 komentar:
Posting Komentar