Akhir
tahun lalu, Indonesia telah resmi menjadi anggota OPEC (lagi). Kendati tidak
murni sebagai eksporti minyak, toh kebanyakan minyak Indonesia diekspor, untuk
kemudian diimpor kembali.
Jumlah
yang diimpor, cukup banyak. Hitung saja saat ini rata-rata kebutuhan
bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Dari jumlah
itu, kapasitas produksi BBM di dalam negeri hanya 650.000 barel per hari.
Selebihnya impor.
Total
jenderal kita harus impor BBM dan minyak mentah 850.000 barrel. Makanya, ketika
harga si emas hitam mencapai US$ 100 per barel, pemerintah kita menjerit.
Sebab, itu berarti harus disediakan devisa US$ 85 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun
(jika dihitung dengan kurs Rp 13.300).
Makanya,
ketika harga sedang menukik seperti sekarang (di kisaran US$ 32 per barel),
Presiden Joko Widodo segera menginstruksikan Pertamina untuk membeli sebanyak
mungkin. Soalnya, di atas kertas, ‘keuntungan’ yang diperoleh Indonesia lumayan
banyak. “Waktu harga minyak murah semestinya dipikirkan Pertamina bagaimana
bisa membeli stok sebanyak-banyaknya,” kata Jokowi.
Mantan
Walikota Solo ini tak mempersoalkan stok tersebut mau ‘diparkir’ alias disimpan
di dalam atau luar negeri. Setidaknya, Pertamina memiliki stok banyak untuk
mengantisipasi di saat harga minyak kembali meroket.
Jika
Indonesia sedikit bersuka dengan rendahnya harga, lain halnya dengan
negara-negara eksportir murni yang selama ini mengandalkan pembangunan
negerinya dari harga minyak. Pemerintahnya bingung, bagaimana harus membayar
utang. Bahkan, beberapa fasilitas yang selama ini dinikmati rakyatnya sudah
dipotong habis.
Belum
lagi rating atau peringkat utang yang diturunkan Standard and Poor's.
Setidaknya ada lima negera yang peringkat utangnya diturunkan, yakni Arab
Saudi, Oman, Bahrain, Brazil dan Kazakhstan.
Arab
Saudi, memang cukup terpukul dari anjloknya harga minyak dunia. Sebab, 75%
pendapatan negara bersumber dari minyak. Akibat turunnya harga, anggaran Saudi
mengalami kondisi sangat sulit alias defisit. “Dalam pandangan kami, penurunan
harga minyak berdampak langsung ke kondisi lima negara yang isi fiskal dan
indikator ekonomi Saudi karena ketergantungan sangat tinggi terhadap minyak,”
tulis lembaga rating S&P.
Neraca
keuangan Saudi mengalami defisit US$ 100 miliar di 2015. Tahun ini, Saudi
memutuskan untuk memangkas 14% belanja negara. Kerajaan Saudi memproyeksi
defisit anggaran bisa mencapai 13% dari GDP di 2016.
Sedangkan,
S&P menilai penetapan anggaran Saudi masih mematok harga minyak US$ 41 per
barel, namun faktanya harga minyak masih bertengger di angka US$ 31 per barel.
Kazakhstan
juga menderita karena separuh pendapatan negara berasal dari ekspor BBM.
Sepanjang 2015, mata uang Kazakhstan juga anjlok hampir 50% terhadap dolar
Amerika Serikat (AS).
Bahrain
juga bernasib serupa. Hampir 75% pendapatan negara Arab ini datang dari minyak
dan 60% ekspor Bahrain datang dari migas. Akibat kondisi ini, utang Bahrain
ikut naik. S&P memproyeksi komposisi utang Bahrain bisa menyentuh 77% dari
GDP di 2017.
Hal
serupa menimpa negara Amerika Latin, Brazil. Negeri Samba ini, sangat terpukul
karena turunnya harga minyak. IMF menilai pertumbuhan ekonomi Brasil kembali
akan turun hampir 3,5% dari proyeksi awal hanya 1%.
Itu
sebabnya, negara-negara tersebut sekarang sedang melakukan penghematan di
segala bidang di samping juga meningkatkan pejak sebagai pemasukan. Dan pasar
analis menilai ini langkah bagus. Namun, bisa memicu kerusuhan.
#ReviewWeekly
#BudiKusumah
0 komentar:
Posting Komentar