Minggu
lalu, pemerintah resmi menerbitkan PP Nomor No.19/2016
yang mengatur penaikan iuran BPJS Kesehatan bagi Pekerja Bukan Penerima
Upah (PBPU) atau peserta Mandiri.
Penaikan
iuran yang berlaku mulai April 2016 ini sebagai salah satu upaya untuk
menekan defisit yang dialami BPJS Kesehatan, akibat tidak seimbangnya
iuran yang dikumpulkan dan pengeluaran klaim layanan kesehatan.
Perpres
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 /2013 tentang
Jaminan Kesehatan Nasional tersebut ditandatangani pada 29 Februari lalu,
namun baru dipublikasikan Kamis (10 Maret 2016).
Dalam
pasal 16 F Perpres tersebut, diatur bahwa besaran iuran peserta mandiri
naik seluruhnya. Rinciannya, iuran kelas I yang semula Rp59.500 naik
menjadi Rp80.000, iuran kelas II semula Rp42.500 naik men jadi Rp51.000.
Sedangkan iuran kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp30.000.
Peserta
mandiri merupakan salah satu sumber pendapatan dari program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Selain peserta
mandiri yang diantaranya merupakan pengusaha kecil menengah dan sektor
informal, kepesertaan BPJS terdiri dari Pekerja Penerima Upah (PPU),
Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Bukan Pekerja (BP).
Dalam
Perpres itu, hanya PBPU atau pekerja mandiri yang besar iurannya
ditingkatkan. Namun sebenarnya, iuran dari penerima bantuan iuran (PBI)
sudah naik per 1 Januari 2016 lalu menjadi Rp23.000, dari sebelumnya
Rp19.000 per orang.
Apakah
penaikan iuran itu bisa menurutup defisit? BPJS sendiri menyatakan penyesuaian
tarif iuran belum menjamin bahwa tidak akan ada defisit tahun ini. Namun
cukup efektif untuk mereduksi defisit pada tahun ini.
Pelaksanaan
BPJS Kesehatan yang menganut prinsip gotong royong memang sejak awal sudah
dibayang-bayangi masalah defisit. Apalagi kalau dilihat dari besaran
iuran yang ditetapkan dan target jumlah kepesertaaan yang naik
setiap tahunnya.
Selama
ini, dalam menekan defisit, BPJS Kesehatan menghadapi beberapa
kenyataan diantaranya tingginya pemanfaatan pelayanan
kesehatan (rasio klaim) peserta PBPU/ Pekerja Mandiri. Di sisi
lain, tingkat ke patuhan pembayaran iuran (kolektibilitas) di kelompok peserta ini relatif rendah.
Belum
lagi masih rendahnya partisipasi langsung dari Pekerja Penerima Upah
(PPU) sektor swasta dan masyarakat umum yang sehat untuk
ikut mendaftar da lam program JKN.
Dalam
kondisi seperti itu, selisih antara penerimaan iuran dan pembayaran
klaim memang tidak terhindarkan. Tahun lalu, defisitnya diperkirakan
mencapai Rp4 triliun. Potensi defisit tahun ini bisa mencapai Rp9,79
triliun dengan melihat peluang penam bahan peserta bila besaran
iuran tetap dipertahankan.
Oleh
karena itu, menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri memang
pilihan yang rasional, namun berisiko tinggi. Rasional karena selain
tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di segmen ini relatif tinggi,
menaikkan iuran menjadi pilihan yang cepat dan mudah.
Tapi
pilihan itu berisiko ditentang berbagai kalangan, terutama dari YLKI, DPR
dan peserta itu sendiri. Bahkan alih-alih menaikkan jumlah peserta,
penaikan iuran ini berpotensi menurunkan tingkat kolektibilitas dari segmen
pekerja mandiri karena kemampuan membayarnya menurun.
Sementara,
menaikkan iuran bagi pekerja penerima upah juga tidak mudah.
Pertimbangannya, meskipun tingkat kolektibilitas dari segmen ini relatif
tinggi, tidak berarti kalangan ini akan begitu saja menerima jika iurannya
dinaikkan. Selain jarang menggunakan fasilitas BPJS, peserta segmen ini
biasanya masih mengeluarkan lagi biaya untuk membayar asuransi non BPJS.
Kondisi
itu dimungkinakan karena tidak sedikit perusahaan yang mengikutsertakan
pekerjanya dalam program BPJS Kesehatan, tapi tetap mempertahankan
fasilitas asuransi kesehatan non BPJS. Ada juga perusahaan yang hanya
menyediakan fasilitas kesehatan BPJS, tetapi karyawan dengan kesadaran
sendiri membayar premi asuransi non BPJS. Sehingga bila iurannya
dinaikkan, beban perusahaan maupun karyawan akan bertambah.
Oleh
karena itu, BPJS Kesehatan harus melakukan langkah yang lebih strategis
untuk menutup potensi defisit dengan menggenjot jumlah kepersertaan,
khususnya pekerja penerima upah atau pekerja formal, serta menaikkan iuran
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menjadi tanggungan negara.
Yang
juga penting adalah meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan dan
pelayanan di semua jenjang fasilitas kesehatan. Dengan demikian kenaikan
iuran ini tidak sekadar untuk menutup defisit.
#BisnisIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar