Diantara bentuk transaksi lindung nilai yang difatwakan boleh oleh DSN adalah Forward Agreement (al-Muwa‘adat li ‘aqd al-sharf al-fawri fi al-mustaqbal) yaitu: Saling berjanji untuk transaksi mata uang asing secara spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat itu.
Misal: Seorang pedagang komputer di Indonesia
membeli beberapa unit komputer dari Amerika dengan mata uang US Dollar dengan
cara tidak tunai, dimana dia akan melunasinya nanti setelah 3 bulan. Karena dia
mengkhawatirkan nilai tukar US Dollar akan naik tinggi pada saat pelunasan maka
ia membuat transaksi Hedging dengan cara membeli US Dollar sejumlah nominal yang akan dibutuhkan
dengan nilai tukar pada saat ini dan serah terima Dollar dengan rupiah nanti
setelah 3 bulan lagi pada saat pelunasan pembayaran barang yang telah dipesan.
Dengan transaksi ini andai harga US Dollar pada saat waktu
pelunasan kewajiban naik maka dia selamat dari kerugian akibat turunnya nilai
tukar Rupiah terhadap Dollar, karena ia telah membuat transaksi pembelian
Dollar dengan nilai tukar pada saat itu.
DSN dalam memutuskan fatwa hedging syariah berlandaskan
kepada perkataan ulama terdahulu, diantaranya perkataan Imam Syafi'i rahimahullah;
“Jika
dua pihak saling berjanji (muwa’adah) untuk melakukan transaksi sharf
(penukaran uang perak dengan emas atau dengan yang sejenis), maka mereka boleh
membeli perak, kemudian menitipkannya pada salah satu pihak hingga mereka
melakukan jual beli atas perak tersebut (sharf) dan mempergunakannya sesuai
kehendak mereka”.
Pendalilan DSN terhadap fatwa No: 96 kontradiksi
dengan fatwa No: 85. Dalam fatwa 85 tentang "Janji pada Transaksi Keuangan", DSN menyatakan bahwa Imam Syafii berpendapat, janji dalam
transaksi keuangan tidak mengikat. DSN berkata,"Pendapat ulama yang menetapkan bahwa janji tidak wajib
secara hukum yaitu pendapat Imam Syafii",
kemudian dalam fatwa no 96 DSN beralasan dengan perkataan imam Syafii tentang
bolehnya Hedging yang dibuat dengan janji di lembaga keuangan, padahal ketentuan yang
berlaku dalam lembaga keuangan bahwa janji yang dibuat lembaga keuangan
bersifat wajib dan mengikat berdasarkan fatwa DSN NO: 85 yang berbunyi, "Janji (wa'ad) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah
adalah mulzim dan wajib dipenuhi".
Maka pendalilan DSN dalam hal ini sangat kontradiksi!
Kemudian, DSN juga berdalil dengan perkataan Ibnu
Hazm;
“Muwa’adah
(saling berjanji) untuk bertransaksi jual beli emas dengan emas, jual beli emas
dengan perak, jual beli perak dengan perak, dan jual beli antara keempat
barang-barang ribawi lainnya hukumnya boleh, baik setelah itu mereka melakukan
transaksi jual beli atau tidak, karena muwa’adah bukan jual beli”.
DSN berdalil dengan perkataan Ibnu Hazm yang
membolehkan janji yang tidak mengikat dan janji jual-beli mata uang tidak sama
dengan transaksi jual-beli, berbeda halnya dengan hukum yang berlaku pada
transaksi keuangan dan bisnis syariah yang menyatakan bahwa janji bersifat
mengikat dan janji adalah transaksi dengan fatwa No 85 yang berbunyi :
"Janji
(wa'ad) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib
dipenuhi".
Selain itu, fatwa DSN tentang bolehnya Hedging syariah ini yang
bertolak dari pendapatnya yang membolehkan penukaran dua mata uang yang berbeda
dengan cara tidak tunai, bertentangan dengan hasil ijtima' ulama seluruh dunia
di bawah OKI No: (65) tentang pasar modal yang berbunyi:
"Syariat
tidak membolehkan jual-beli mata uang secara tidak tunai. Dan tidak membolehkan janji (wa'ad)
dalam transaksi penukaran mata uang. Keputusan ini berdasarkan Al Quran, Sunnah
dan Ijma para ulama".
Fatwa DSN tersebut juga bertentangan dengan SOP
lembaga keuangan syariah dunia, dikeluarkan oleh AAOIFI yang berpusat di
Bahrain berbunyi :
"Haram melakukan akad janji penukaran valuta asing
apabila janji tersebut bersifat mengikat, sekalipun dimaksudkan untuk lindung
nilai (Hedging). Diharamkannya
janji yang bersifat mengikat kedua belah pihak dalam transaksi penukaran
valuta, karena janji yang bersifat mengikat kedua belah pihak sama dengan akad
dan karena setelah janji yang mengikat ini dibuat tidak diikuti langsung dengan
serah terima kedua jenis valuta maka hukumnya menjadi tidak boleh. Dan hukum
yang berlaku di dunia perbankan bahwa janji bersifat mengikat sekalipun tidak
dicantumkan dalam perjanjian"
Semoga DSN mau merevisi kembali fatwa
tentang Hedging Syariah ini sesuai dengan dalil-dalil yang lebih kuat.
#ErwandiTarmizi
0 komentar:
Posting Komentar