Deklarasi
Jakarta tampaknya akan menjadi babak baru bagi penyelesaian Israel-Palestina,
sejauh pernyataan di atas kertas bisa menjadi upaya yang nyata. Namun,
sebagaimana tercermin dalam deklarasi itu, masalah-masalah di antara negara
anggota OKI sendiri membutuhkan upaya untuk diselesaikan.
Apakah
Deklarasi Jakarta yang dihasilkan oleh Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar
Biasa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang belum lama ini berlangsung di
Jakarta, akan efektif untuk menekan Israel, dan membantu kemerdekaan penuh bagi
Palestina?
Pertanyaan ini
muncul setelah konferensi dilangsungkan awal bulan ini di Jakarta dan dihadiri
605 orang delegasi. Mereka delegasi dari 55 negara, termasuk 49 negara anggota
OKI, dua negara peninjau, lima anggota permanen Dewan Keamanan PBB, dua negara
kuartet, dan dua organisasi internasional (PBB dan Uni Eropa).
Deklarasi itu
mungkin tidak akan menghasilkan sesuatu jika hanya sebagai pernyataan yang
dicatat di atas kertas. Artinya, dampaknya hanya akan dihasilkan dari
implementasi dari deklarasi itu oleh negara-negara anggota OKI dan para pihak
yang menandatanganinya.
Oleh karena
itu, tantangan terbesar bagi anggota OKI adalah pada keseriusan, konsistensi,
dan tindakan-tindakan nyata dalam berbagai bidang dan forum untuk menunjukkan
komitmen atas deklarasi itu.
Salah satu
dari 23 butir Dekalarasi Jakarta yang banyak dibicarakan adalah butir ke-16
yang berbunyi: ‘’Menyerukan masyarakat internasional mendukung boikot terhadap
produk yang dihasilkan di permukiman ilegal.’’
Boikot produk,
selama ini termasuk upaya yang dinilai berdampak dalam menekan suatu negara.
Konflik di Ukraina yang melibatkan Rusia dan Uni Eropa juga diwarnai boikot
atas produk-produk negara terkait untuk mempengaruhi ekonomi.
Rusia menekan
Turki atas insiden penembakan pesawat tempurnya dengan memboikot produk-produk
tertentu dari Turki. Namun baik kasus Ukraina, maupun Turki, dampak ekonomi
yang dirasakan belum mampu membawa upaya negosiasi untuk memperbaiki situasi.
Boikot melalui
resolusi PBB terhadap Iran terkait pengembangan senjata nuklir juga dilakukan,
dan upaya ini, meskipun bukan sebagai faktor tunggal, ternyata mendorong Iran
bersedia berunding dengan negara-negara terkait dan PBB. Sanksi boikot itupun
mulai tahun ini dicabut.
Boikot pernah
menjadi cara yang digunakan oleh kekuatan internasional untuk menekan
pemerintah Afrika Selatan untuk menghentikan praktik politik rasis apartheid
pada akhir dekade 1990-an. Peristiwa ini juga menjadi pendorong reformasi dan
demokratisasi di negeri itu.
Dan sekarang,
apakah boikot terhadap Israel untuk mendorong implementasi solusi dua negara
dan kemerdekaan untuk Palestina akan membuahkan hasil? Hal itu akan sangat
bergantung pada konsistensi dalam pelaksanaannya, dan seberapa besar dampaknya
pada perekonomian Israel.
Suara yang
bernada pesimistis muncul ketika boikot ini ternyata hanya dibatasi pada produk
dari pemukiman ilegal. Awal 2014, Uni Eropa sendiri telah membuat keputusan
serupa atas semua produk yang bahan bakunya bersumber dari permukiman ilegal
Israel di tanah Palestina. Untuk mengontrolnya, produk Israel harus
mencantumkan keterangan asal produk tersebut.
Sejauh ini,
boikot oleh Uni Eropa belum bisa memaksa Israel mengubah keputusannya tentang
pemukiman yang disebutkan ilegal itu. Maka, apakah tindakan negara anggota OKI
bisa memberi dampak yang signifikan untuk menekan Israel? Jika hal itu
dilakukan, setidaknya menguatkan apa yang dilakukan oleh Uni Eropa dan
memperbesar dampaknya.
Negara-negara
anggota organisasi yang didirikan di Rabat, Maroko, tahun 1969 itu masih banyak
yang menghadapi masalah internal di bidang politik dan demokrasi, keamanan, dan
ekonomi. Ditambah lagi, sejumlah negara anggota OKI bahkan sedang terlibat
konflik di antara mereka.
Kondisi ini
dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya membuat OKI ‘’kurang berdaya’’,
bahkan cenderung mengarah kepada menurunnya perhatian pada dukungan bagi
Palestina. Perang di Irak, Yaman dan Suriah, serta gejolak Revolusi Musim Semi
Arab di Afrika dan Timur Tengah, membuat bantuan untuk Palestina menurun tajam.
Oleh karena
itu, Deklarasi Jakarta sebaiknya juga memberi perhatian secara seimbang pada
masalah internal anggota untuk membangun kekuatan dalam memberikan tekanan
terhadap Israel agar tercapai penyelesaian yang damai dan bermartabat bagi
Palestina.
#Neraca
0 komentar:
Posting Komentar