Krisis kepemimpinan
di Indonesia sekarang merata, nyaris menyentuh hampir semua lembaga negara,
bahkan juga lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom terhadap negara.
Jadi tidak hanya menyangkut lembaga kepresidenan. Indikasinya, kita kesulitan
menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal yaitu efektif, dapat dipercaya,
dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani.
Seperti ada
pemimpin lembaga pemantau korupsi yang justru korup, ada pemimpin lembaga
penyedia pangan yang justru menilap makanan rakyat, ada pemimpin agama yang
justru menginjak-injak nilai-nilai luhur agama, ada pejabat kepolisian yang
justru ditangkap lantaran korup dan sebagainya.
Ini artinya,
nyaris semua pemimpin di semua lini hanya mengedepankan cara berpikir rasional
subyektif atau rasional instrumental. Karena rata-rata mereka terbukti hanya
mengedepankan kepentingan pribadinya atau sekadar menjadi alat dari hasrat
subyektifnya sendiri, keluarga, atau kelompoknya.
Padahal, sosok
pemimpin mestinya harus mengedepankan kepentingan mereka yang dipimpin;
berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri, keluarga, atau
kelompoknya di bawah kepentingan publik yang lebih luas. Pemimpin idealnya
bukan berdiri di atas rakyat atau sejajar dengan rakyat, tetapi pantasnya
mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat.
Kita jadi
trenyuh jika menyimak pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengimbau para
menteri untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi, dan tidak mendahului
pernyataan presiden terhadap kebijakan. Menteri sebagai pembantu presiden
harusnya sadar dan bekerja sesuai visi dan misi presiden, bukan berjalan
sendiri-sendiri dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan.
Bukankah ini
pertanda krisis kepemimpinan di negeri ini? Kemudian penggunaan mata uang
rupiah sebagai alat transaksi sah di NKRI yang harusnya memiliki nilai
kredibilitas tinggi di mata bangsa sendiri maupun asing. Namun, kenyataan di
lapangan masih ada perusahaan yang menggunakan mata uang asing, padahal jelas
ada UU Mata Uang No 7/2011 yang intinya semua transaksi di Indonesia harus
menggunakan rupiah. Bahkan ada sanksi pidana penjara 1 tahun dan denda maksimal
Rp 200 juta, namun pihak berwenang belum bertindak sesuai UU tersebut.
Mengapa
presiden bisa berkata demikian? Ini merupakan ungkapan presiden yang tampaknya
sudah mengetahui kondisi kepemimpinan di sejumlah kementerian maupun lembaga
negara (K/L) yang kurang kondusif saat ini. Lihat saja sejumlah pimpinan K/L
bersikap hedonistis, pragmatis, materialistis, dan egoistis terhadap kesusahan
masyarakat. Adanya fakta beberapa sungai di Jakarta yang sudah 5 tahun ternyata
tidak dikeruk sehingga terjadi pendangkalan, merupakan potret birokrasi baik di
pusat maupun daerah dalam kondisi “sakit” yang akut.
Akibatnya,
posisi pemimpin atau jabatan publik pun kerap diincar sekadar sebagai batu
loncatan untuk kaya dan berkuasa. Walhasil, K/L atau lembaga publik yang
potensial dijadikan lahan korupsi justru dianggap sebagai “lahan basah” yang
diperebutkan banyak orang. Sosok pemimpin amanah dan sederhana seperti Jenderal
Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Natsir, atau Hoegeng, menjadi
makhluk yang amat langka di negeri kita sekarang ini. Kekayaan dan kemewahan
serta keserakahan seolah menjadi seragam wajib bagi para pemimpin masa kini.
Sementara pada saat yang sama, rakyat seolah sah-sah saja dibiarkan menjadi
makhluk yang sengsara dan melarat akibat penderitaan, apalagi setelah diterjang
bencana banjir.
Ironisnya,
sistem ekonomi neoliberal yang diakui atau tidak oleh pemerintahan saat ini
merupakan warisan masa lalu, justru kian memperparah iklim yang tidak kondusif
bagi munculnya kader pemimpin yang ideal tersebut. Kini saatnya semua pihak
yang peduli harus berani melawan arus dengan menyerukan gerakan hidup
sederhana, jujur, dan mandiri. Kemudian mentradisikan gaya hidup tanpa korupsi
sejak dini perlu digiatkan lebih gencar.
Semoga!
#Neraca
0 komentar:
Posting Komentar