Tidak
ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai politik.
Rumus
politik yang dicetuskan ilmuwan politik Clinton Rossiter itu seolah menjadi
mantra bagi parpol untuk mengukuhkan eksistensi mereka dalam negara demokratis.
Tak
mengherankan jika mengalir tudingan ada deparpolisasi ketika Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok memutuskan berkontestasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017
melalui jalur perseorangan.
Tudingan
itu sangat bisa diperdebatkan. Pilihan Ahok maju di Pilkada DKI lewat jalur
independen jelas tidak asal-asalan, tetapi dibuat dengan pertimbangan matang.
Pertama,
Ahok tidak ingin tersandera oleh partai politik, utamanya PDIP yang belum juga
memberikan kepastian.
Ahok
yang juga Gubernur DKI Jakarta awalnya menginginkan wakilnya kini, Djarot
Syaiful Hidayat, untuk tetap mendampinginya dan meminta PDIP sebagai partai
pemilik Djarot segera memberikan jawaban.
Namun,
PDIP punya mekanisme sendiri sehingga jawaban itu tak bisa diberikan sesuai
dengan keinginan Ahok.
Pertimbangan
kedua hingga Ahok akhirnya memilih jalur independen ialah ia tak ingin
mengecewakan relawan Teman Ahok yang sudah beberapa bulan bekerja ekstra keras
mengumpulkan KTP dukungan.
Ahok
tak mau pula membuat kecewa ratusan ribu publik Jakarta yang dengan sukarela
menyerahkan dukungan kepadanya untuk tetap memimpin Ibu Kota pada periode
berikutnya.
Ketiga,
undang-undang menjamin hak warga negara yang ingin maju di pilkada melalui
jalur independen, selain melalui perahu parpol.
Tak
ada argumentasi apa pun untuk mendikotomikan jalur parpol dan jalur
perseorangan serta menempatkannya pada posisi head to head.
Sebagai
sebuah pilihan politik, keputusan Ahok tak secuil pun melanggar rambu-rambu
konstitusi.
Toh
Ahok bukan orang pertama yang memilih jalur independen untuk bertarung di
pilkada.
Lagi
pula, undang-undang yang memungkinkan orang bertarung di pilkada melalui jalur
independen disusun parpol lewat fraksi-fraksi di DPR.
Inilah
peran demokrasi parpol, yakni membuat pilihan-pilihan bagi publik untuk memilih
calon kepala daerah dari jalur parpol ataupun jalur independen.
Bukankah
demokrasi mensyaratkan aneka pilihan?
Dengan
begitu, rumus bahwa tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik
tanpa partai politik tidak harus ditafsirkan bahwa untuk mengarungi pilkada,
kandidat harus menumpang bahtera parpol.
Bahkan
bukan tidak mungkin di masa depan undang-undang mengizinkan orang menggunakan
jalur independen pada pemilu presiden, seperti di Amerika Serikat.
Di
Amerika Serikat, sejumlah pemilu presiden pernah diikuti kandidat independen. Namun,
pemenang senantiasa kandidat yang diusung parpol. Dalam beberapa pemilu
presiden terakhir kandidat datang dari parpol, yakni Partai Demokrat dan Partai
Republik.
Itu
disebabkan rakyat pemilih di Amerika lebih percaya kepada kandidat asal parpol
karena memang parpol memiliki kandidat hebat, berintegritas, dan berkarakter.
Oleh
karena itu, daripada bikin gaduh menuding ada deparpolisasi oleh Ahok dan para
pendukungnya, dalam jangka pendek, lebih baik parpol menyiapkan penantang Ahok.
Dalam
jangka panjang, parpol sebaiknya berbenah, termasuk membenahi kaderisasi untuk
menghasilkan calon pemimpin hebat sehingga rakyat percaya dan memilih kandidat
yang mereka usung.
Ini
penting karena di era pemilihan langsung tidak ada jaminan, pemilih yang telah
memilih parpol tertentu pasti memilih kandidat yang diusung parpol itu.
Parpol
harus ada dan akan tetap ada di negara yang menganut paham demokrasi.
Di
negara demokrasi tidak ada yang namanya deparpolisasi.
#MediaIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar