Munculnya
kontroversi angkutan berbasis aplikasi dalam jaringan (daring) atau online
kembali mencuat ke permukaan, tidak lepas dari kelalaian Kementerian
Perhubungan. Awal pekan ini ribuan pengemudi angkutan atau transportasi umum
konvensional berunjuk rasa menuntut penertiban angkutan transportasi daring
seperti GrabCar, Uber, dan GoJek.
Sopir taksi,
sopir transportasi umum, tukang ojek pangkalan, dan pengemudi transportasi
konvensional lain mengeluhkan karena kehidupan mereka terancam. Sejak
transportasi daring menjadi tren, pangsa pasar transportasi konvensional
menyusut. Dalam bahasa para sopir angkot, mereka tidak bisa lagi memenuhi
setoran kepada pemilik modal sehingga mereka terpaksa harus nombok.
Dalam
pendekatan bisnis, transportasi daring memang menjadi ancaman serius bagi
transportasi konvensional. Transportasi daring menghadirkan inovasi radikal
melalui pemanfaatan teknologi informasi. Inovasi telah membuat konsumen memesan
taksi dengan cara jauh lebih mudah dan mendapatkan harga jauh lebih murah.
Secara teoretis, pelayanan dan harga menjadi faktor penggerak elastisitas
penawaran dan permintaan.
Keunggulan
pelayanan dan pelayanan yang ditawarkan transportasi daring telah menggerakkan
permintaan konsumen yang kian rasional. Celakanya, mereka menjadi subtitusi
bagi transportasi konvensional. Konsumen transportasi umum yang jumlahnya
relatif tetap, secara masif bergeser dari transportasi konvensional ke
transportasi daring. Di dunia bisnis persaingan adalah hal wajar dan lumrah.
Bahkan
persaingan dibutuhkan untuk menjadi stimulan pelaku bisnis agar terus melakukan
perbaikan demi memenuhi kepuasan konsumen. Tapi, apakah persaingan tersebut
memenuhi kaidah persaingan usaha yang sehat, itulah yang harus menjadi
perhatian pemerintah cq Kemenhub.
Berdasarkan UU
Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, misalnya, transportasi
daring tidak terdaftar sebagai transportasi umum. Nah, Kemenhub seharusnya
berinisiatif mengajukan revisi (perubahan) atas UU tersebut agar dapat
mengakomodasi masuknya transportasi daring.
Ketika pertama
kontroversi muncul pada kasus angkutan Gojek, Presiden Jokowi sudah
mengingatkan Menteri Perhubungan agar melakukan revisi UU tersebut. Namun yang
dilakukan saat itu Menhub menyurati Kapolda Metro Jaya yang intinya supaya
melakukan penangkapan terhadap pengendara Gojek karena dianggap melanggar UU
tersebut.
Sama halnya
dengan kasus Gojek, pada kasus Grabcar dan Uber, Menhub menyurati Menteri
Kominfo agar memblokir aplikasi perusahaan jasa transportasi daring tersebut,
namun Menkominfo maupun Kapolda Metro Jaya sama sekali tidak menggubris
permintaan dari Menteri Perhubungan tersebut.
Perusahaan
taksi konvensional seperti Blue Bird dan Express harusnya mampu memahami
penggunaan aplikasi online untuk memudahkan pelayanannya. Dan dalam situasi
persaingan sehat sekarang, taksi konvensional harusnya menurunkan tarif buka
pintu pertama dari sekarang Rp 7.500 menjadi Rp 6.500-Rp 6.000 ika ingin
kehidupan para supir taksi konvensional dapat tetap aman dan mampu mendapatkan
setorannya. Bukan dengan cara demo mengerahkan massa supir taksi dan kendaraan
umum yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Intinya,
Kementerian Perhubungan harus sadar dan segera melakukan revisi UU tersebut
sesuai pesan Presiden beberapa waktu lalu, agar semua transportasi umum dapat
melakukan inovasi dan meningkatkan inovasi layanan sehingga konsumen semakin
diuntungkan, dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku dan UU perlu
direvisi menjadi domain Kemenhub.
#Neraca
0 komentar:
Posting Komentar