Kita memiliki
pengalaman berharga kala menghadapi krisis finansial global tahun 2008. Kala
itu, perekonomian dunia mengalami resesi, hampir semua negara maju dan negara
emerging markets mengalam kontraksi ekonomi. Indonesia bisa menikmati
pertumbuhan positif, bahkan mencapai 4,6 persen yang hanya sedikit lebih rendah
ketimbang pertumbuhan tahun 2015.
Tahun ini
bahaya menghadang dari segala penjuru. Pertumbuhan ekonomi China melemah,
perekonomian Brazil terjun bebas. Emerging markets mengalami penurunan belanja
modal dan peningkatan utang swasta. Perekonomian negara maju belum menunjukkan
tanda-tanda mampu tumbuh memadai walaupun telah menempuh kebijakan moneter
super-longgar, bahkan sejumlah bank sentral telah menggulirkan kebijakan suku
bunga negatif. Harga-harga komoditas masih dalam kondisi tertekan. Sebagian
besar bursa saham dunia
goyah. Laba korporasi melandai di mana-mana.
Namun pengamat
ekonomi Faisal Basri menegaskan tidak perlu panik, karena selalu ada peluang
dalam turbulensi sekalipun--reason not to worry. Untuk menghadapi kondisi
tertekan dengan ancaman dari berbagai penjuru, ada baiknya pemerintah
menitikberatkan pada upaya menjaga kestabilan ekonomi. Lebih baik melunakkan
target. Karena pasar dunia sedang tertekan, ada baiknya tidak memasang target
peningkatan ekspor terlalu tinggi. Sekedar tumbuh saja sudah lumayan, mengingat
selama empat tahun terahir selalu merosot dan kian parah dalam dua bulan
pertama tahun 2016.
Yang cukup
mengkhawatirkan adalah penerimaan negara dua bulan pertama tahun ini turun
dibandingkan tahun 2014 dan 2015. Boleh jadi karena potensi penerimaan tahun
ini sudah disedot tahun lalu karena "kalap" defisit APBN bisa
menembus 3% dari PDB sehingga melanggar UU Keuangan Negara. Akibat penerapan
jurus "jalan pintas" muncul komplikasi di sektor lain. Muncul pula
beragam kebijakan jalan pintas atas nama swasembada yang merusak keseimbangan
pasar, yang akibatnya memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bahayanya
lagi, dalam kondisi yang bersamaan, realisasi penerimaan pajak masih sangat
rendah. Tentu kedua hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dalam mencari
pinjaman guna menutup defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, membesarnya
rasio DSR (Debt Service Ratio) akan memberikan sentimen negatif bagi investor.
Kekhawatiran
atas default utang dan ketakutan atas semakin memburuknya ekonomi domestik
tentu menjadi pertimbangan utama investor dalam memutar uangnya di dalam
negeri. Ditambah pula, instabilitas mata uang rupiah akan memperparah tingkat
bahaya ekonomi domestik karena akan langsung menekan industri yang berbasiskan
barang impor beserta harga-harganya.
Pasalnya,
berdasarkan laporan statistik ULN Bank Indonesia (BI) sekarang, posisi ULN
Indonesia sekarang mencapai Rp 4.200 triliun lebih, tak bisa dimungkiri,
peningkatan utang tersebut merupakan imbas depresiasi nilai tukar rupiah yang
cukup dalam selama 2015. Meski ekonomi mulai membaik pada kuartal III-2015,
swasta masih menahan posisi ULN.
Selain itu,
ada pihak melalui bendera "nasionalisme" untuk mengeruk rente. Belum
lagi silang sengketa dan kegaduhan di antara sesama menteri. Seharusnya
menghadapi tantangan dan ancaman dari luar yang tak habis-habisnya, para
pejabat semakin kompak, dan Presiden efektif sebagai konduktor memandu semua
pemain musik tunduk pada partitur agar orkestrasi menghasilkan nada-nada indah.
Lebih menjaga yang sudah dalam genggaman ketimpang mengandalkan sesuatu yang
tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Terpenting adalah menjaga daya beli
masyarakat. Kedua, mendorong agar investasi swasta terus naik, termasuk
penanaman modal asing langsung. Semoga!
#Neraca
0 komentar:
Posting Komentar