Keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
untuk maju pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 melalui jalur independen
atau perseorangan telah menimbulkan berbagai komentar pro dan kontra. Bagi
mereka yang mendukungnya, keputusan Ahok itu suatu langkah awal yang berani
untuk bertarung di medan politik Jakarta yang penuh dengan intrik-intrik
politik yang kadang tidak sehat.
Bagi mereka yang ‘menerima dengan setengah hati’, khususnya dari
kalangan partai politik, langkah Ahok dipandang sebagai upaya deparpolisasi,
tanpa menjelaskan apa itu deparpolisasi. Mengapa Ahok memilih jalur independen?
Benarkah Ahok melakukan deparpolisasi? Apa positif negatifnya kepala daerah
dari jalur independen?
Kita sering mendengar alasan Ahok memilih jalur independen, atau
dalam bahasa hukum terkait pilkada disebut jalur perseorangan. Pertama, Ahok ingin
menguji keseriusan anak-anak muda berlatar belakang berbagai suku dan agama yang
menamakan dirinya Teman Ahok dalam mengumpulkan dukungan warga Jakarta melalui
kegiatan #KTP untuk Ahok.
Tantangan yang diajukan Ahok pada mereka ialah, jika Teman Ahok bisa
mengumpulkan 1 juta fotokopi KTP yang sah, Ahok bersedia menjadi calon
independen. Padahal, menjadi calon independen di Pilkada 2017 hanya membutuhkan
525 ribu fotokopi KTP atau 6,5% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di DKI
Jakarta. Jika Teman Ahok mampu mendapatkan 1 juta fotokopi KTP dengan sebaran yang
merata di seluruh 5 wilayah Jakarta, itu merupakan modal awal yang baik buat
Ahok.
Kedua, Ahok ingin mengurangi efek negatif dari penggunaan partai politik
sebagai kendaraan untuk maju kembali pada Pilkada DKI Jakarta, antara lain
mahar politik yang biasanya tinggi. Memang ada parpol yang sejak awal mendukung
Ahok tanpa prasyarat, yakni Partai NasDem. Partai lain pun ada juga yang mendukung,
seperti Hanura dan PDIP.
Namun, karena proses pencalonan kepala daerah melalui parpol memang
cukup lama dan rumit, Ahok lebih memilih menjadi calon independen. Apalagi,
fotokopi KTP yang dikumpulkan Teman Ahok sudah mencapai sekitar 770 ribu.
Ahok banyak dicerca karena ia pernah menyatakan kalau dia maju
melalui jalur partai, biaya politik untuk mendapatkan dukungan partai bisa mencapai
Rp1 miliar! Walau ada kepala daerah yang membantah mahar itu, seperti yang diucapkan
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan adanya kenyataan bahwa pada pilkada
2012 Jokowi-Ahok didukung PDIP dan Gerindra dengan spirit gotong-royong, isu
mahar politik itu tetap ada walau sulit dibuktikan.
Ketiga, Ahok senang bahwa rakyat, khususnya anak-anak muda yang terdidik
dan melek politik, tidak lagi alergi atau bahkan cuek alias tidak peduli pada
jalannya politik di DKI Jakarta. Justru anak-anak muda ini aktif membantu Ahok
mengumpulkan fotokopi KTP dengan biaya yang mereka peroleh dari kreativitas
dalam membuat dan menjual merchandise
(produk suvenir) bergambar dan bertuliskan
nama Ahok sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta.
Istilah deparpolisasi terkait dengan pencalonan Ahok pertama kali dimunculkan
Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, yang juga Ketua DPRD
DKI. Prasetio menilai adanya upaya deparpolisasi yang sedang berkembang di
Indonesia. Padahal, keputusan Ahok untuk maju melalui jalur perseorangan atau
independen bukanlah deparpolisasi.
Bila kita simak lebih dalam, terminologi deparpolisasi muncul pada era
awal Orde Baru yang ingin mengikis habis pengaruh dan aktivitas partai-partai
politik da lam sistem politik Indonesia saat itu. Dari segi bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan arti deparpolisasi sebagai pengurangan jumlah
partai. Era Orde Baru rezim Soeharto yang didominasi militer membuat dan
memberlakukan
kebijakan politik untuk mengikis habis pengaruh dan peran partai politik
di
Indonesia. Langkah pertama deparpolisasi ialah adanya propaganda
penguasa Orde Baru
bahwa partai politik merupakan biang keladi dari kebobrokan politik di
Indonesia, sejak era Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) sampai
Demokrasi
Terpimpin era Orde Lama.
Kedua, pemerintah melalui gagasan perwira intelijen Brigjen TNI Ali
Moertopo menerapkan kebijakan pengurangan jumlah partai dari sembilan partai
plus satu Golongan Karya (disebut sebagai golongan fungsional nonpartai) dua
partai (PDI dan PPP) plus satu Golkar. Fusi partai politik yang dipaksakan itu
telah berhasil memaksa seluruh partai Islam bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan semua partai nasionalis dan kristiani (PNI, Murba, IPKI, Parkindo,
Partai Katolik) bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tiga kekuatan
politik itu diberi nomor peserta pemilu yang memiliki arti simbolis nomor 1
PPP, nomor 2 Golkar, dan nomor 3 PDI. Dengan demikian, ketika system politik
berputar bagaikan baling baling pesawat, yang tampak hanyalah Golkar.
Ketiga, pemerintah membuat aturan politik yang disebut
deparpolisasi dan depolitisasi, yakni suatu kebijakan yang tidak membolehkan partai-partai
politik membangun organisasi cabang dan ranting partai di bawah kecamatan (kelurahan
dan desa/kampung).
Jika kita mengacu ke depolitisasi dan deparpolisasi itu, apa yang di
lakukan Ahok bukanlah deparpolisasi. Sebetulnya, jika partai-partai politik
memiliki kecerdasan politik dalam melakukan manuver menjelang pilkada, mereka
tidak perlu takut pada calon independen/perseorangan. Partai-partai politik
dapat melakukan rekrutmen politik para bakal calon kepala daerah dan
sosialisasi politik lebih awal sehingga tidak dikalahkan jalur perseorangan
ini.
Munculnya calon perseorangan antara lain disebabkan citra partai politik
yang buruk di mata masyarakat akibat tingkah laku korup anggota partai yang
duduk di badan-badan legislatif dan eksekutif pusat dan daerah.
Partai juga dipandang tidak melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan
publik. Sebaliknya, dalam pembuatan undang-undang dan peraturan daerah,
partai-partai politik lebih mendahulukan kepentingan kelompok (partai atau
gabungan partai) dan mereka yang pada saat pilkada atau pemilu (legislatif dan presiden)
memberikan bantuan dana kampanye.
Indonesia, yang menganut sistem multipartai, seharusnya dapat mengurangi
fenomena merebaknya kandidat independen pada pilkada karena berbagai
kepentingan masyarakat dapat tertampung dari ideologi dan program kerja partai
yang beragam itu. Kenyataannya, partai, di dalam mendukung kandidat kepala daerah
(dan presiden), lebih didasari kepentingan pragmatis dan bukan bersifat
ideologis serta program dari para kandidat. Dasarnya selalu elektabilitas pasangan
calon dan bukan apa yang menjadi program kerja. Karena itu, jangan salahkan
masyarakat jika dalam kasus-kasus tertentu, seperti di DKI Jakarta, mereka kali
ini mencoba untuk mendukung kandidat independen.
Kasus Ahok hanyalah satu dari sedikit daerah yang memiliki calon independen.
Secara kebetulan, Ahok, didukung masyarakat karena akuntabilitas politiknya
sebagai wakil gubernur dan kemudian gubernur DKI Jakarta yang dinilai amat
baik. Dia maju juga bukan karena dia berasal dari kelompok masyarakat yang dominan
baik dari segi suku maupun agama, bukan juga karena memiliki harta yang besar,
melainkan karena kepercayaan publik. Tak mengherankan jika dalam menangkal propaganda
politik atas dasar agama, mereka yang mendukung Ahok sudah mulai melakukan pre-emptive strike (serangan
sebelum diserang) melalui tag-line
#saya muslim tapi saya dukung Ahok.
Bakal calon independen sesungguhnya tidak selamanya baik, apalagi jika
bakal calon independen itu lebih mendasari dirinya karena pernah memiliki
kekuasaan yang melimpah. Misalnya, ia pernah menjadi pejabat sipil atau
militer, berasal dari suku dan agama besar di daerahnya, memiliki kekayaan yang
melimpah yang dapat digunakan untuk kampanye politik, dan juga memiliki konsultan
politik serta jaringan yang dapat melakukan segala cara untuk memenangkannya
menjadi kepala daerah.
Suka atau tidak suka, partai politik harus tetap menjadi soko guru demokrasi. Demokrasi
tidak akan berjalan baik tanpa partai politik. Namun, partai politik harus kita
bantu agar menjadi partai yang modern dan aktivitas politiknya diperuntukkan kepentingan
rakyat, bangsa, dan negara, bukan untuk kepentingan pengurus partai dan
kelompok. Semua partai politik harus berbenah diri dan melakukan introspeksi
diri mengenai apa yang salah yang mereka lakukan selama ini.
Fenomena Ahok merupakan tamparan dan cambukan bagi partai untuk
semakin berbenah diri agar keberadaan mereka dalam sistem politik Indonesia
menjadi suatu keniscayaan. Ahok, secara kebetulan, merupakan sosok pemimpin daerah
yang jujur, berani mengambil risiko politik atas kebijakan yang diambilnya, dan
bergerak cepat demi kepentingan rakyat Jakarta dan Indonesia.
Bayangkan jika calon perseorangan itu orang yang hanya mencari kekuasaan
dan uang untuk diri dan kelompoknya yang melihat jalur independen ialah cara
termudah untuk menjadi penguasa daerah. Jika itu terjadi, bukan demokrasi untuk
kepentingan rakyat yang akan terjadi, melainkan kepala daerah yang menjadi
predator. Artinya, melalui kekuasaan politik dan uang, ia akan menjadi penguasa
yang otoriter dan korup. Seperti kata Larry Diamond, bila penguasanya sudah
menjadi predator, masyarakatnya juga akan menjadi masyarakat predator (predatory society).
#IkrarNusaBhakti
0 komentar:
Posting Komentar