Karena
sharing, maka menjadi murah. Selamat
datang anak-anak muda pembaharu!
Mereka
memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan dalam peradaban
“memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus membeli dan menguasai.
Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, tanah, gedung, pabrik, bahan
baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas.
Akibatnya
modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan generasi milenials
cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka
lapak di sana dan berbagi hasil.
Sama
juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat
aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya
kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan
atau pool taksi.
Akibatnya
wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang
memurahkan segala macam harga.
Kalau
ini mewabah, gila! Indonesia bakal dilanda deflasi, bukan inflasi. Tapi kini
mereka dituduh menerapkan strategi harga predator yang bisa diperkarakan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ongkos taksi yang harusnya Rp 150.000, cuma
dihargai Rp 70.000.
Baca Juga : Blunder Kemenhub Menyikapi Transportasi Online
Kamar
penginapan yang per malamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp 200 Ribu. Apa betul ini
persaingan tak wajar?
Belum
lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari. Milenials bukan saja pribumi di
dunia digital, melainkan juga sharing economy.
Tapi
gini ya, ini bukan prostitusi online
yang bekerja sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata
kita. Bahkan kita sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering
menyamakan mereka dengan bisnis ilegal.
Persepsi
ini diperburuk oleh ketidakmengertian kita tentang sharing economy yang gejalanya sudah marak dimana-mana. Kita bilang
mereka menerapkan strategi “predatory
pricing“. Kita juga bilang, aspek keamanan mereka tak terjamin.
Kedua
isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang lalu. Makanya mereka
mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang reputasinya buruk dari consumer experience, mereka drop dari
komunitas berbagi itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di dunia maya.
Maka,
bagi para orang tua, cara kerja anak-anak muda ini sulit dipahami. Sebagian
pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang sudah terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar
usaha mereka dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, dibubarkan,
diblokir, dan diusir dari republik ini.
Namun
susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak mengenal batas-batas negara.
Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar negeri. Di luar neegri,
kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan berkali-kali, tetapi mereka
kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan dimodali Silicon Valley.
Saya sendiri memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin melawan proses
alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi.
Sejak
dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru menuntut manusia-manusia
berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New Technology X Old Mindset
hasilnya: Fail! Gagal! Jadi teknologi baru butuh mindset baru. Itu baru menjadi
kesejahteraan.
Jadi,
para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti tukang-tukang ojek pangkalan
yang kini sudah berjaket hijau atau biru.
Sebagian
customer masih nyaman pakai taksi langganannya. Tetapi pasarnya tinggal
sedikit. Tak sebesar dulu lagi. Nah sebagian lagi, harus disiapkan dengan
platform baru: sharing economy. Dan
ingat, sebentar lagi pemilik-pemilik hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya
menuntut airbnb.com, couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.
Problem
yang muncul dari peradaban owning economy
adalah sampah menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki
sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin kotor
dan gap kaya-miskin begitu besar.
Semua
ini disebabkan oleh tragedi kapitalisme yang menghargai penumpukan modal,
hak-hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” secara adil dengan efek
penguasaan aset-aset strategis.
Padahal
dulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka hidup di kampung
dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah ulayat yang tak berpagar.
Suasananya
berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang lain yang mampu mengubah status
tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk sekadar numpang lewat saja.
Peradaban
owning economy membuat
individu-individu tertentu cepat mengendus harta-harta strategis, dan
memagarinya, walau untuk jangka waktu yang lama tak digunakan.
Akibatnya
di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu menganggur. Termasuk
lahan-lahan pertanian yang kelak akan dialihfungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi
ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak produktif.
Pabrik-pabrik,
perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren, semua dikuasai, tetapi belum tentu
dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya. Menjadi rumah hantu atau pajangan tak
bermanfaat. Nice to have, only!
Sampailah
muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan. Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai
penyelamat planet ini dari keserakahan manusia. Mereka menggagas
ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan
sosial, lalu sharing economy.
Mereka
bilang, “buat apa membeli yang baru, kalau barang-barang yang lama saja masih
bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang-barang bekas yang ada di garasi
dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan
hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil yang sudah langka kini bisa
ditemui.
Lalu
mereka juga bilang, ”buat apa beli sepeda motor baru, kalau yang ada di
masyarakat bisa dijajakan oleh pemilik- pemiliknya.“ Itu menjadi Gojek dan Grabike.
Setelah
itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak muda yang mau
bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke konsumen via igrow.com. Lalu
pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar yang kosong ditawarkan secara online. Bahkan ada tuan rumah yang
menawarkan jasa plus sebagai guide
buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman sendiri.
Di
Prancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan juga mesin
cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, yang pesertanya
bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke. Prinsipnya,
lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah tapi terpakai
penuh ketimbang underutilized.
Ketika
Sharing Economy menjadi gejala
ekonomi yang marak, maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga
akan turun, ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak
pilihan menginap yang murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi
produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga.
Baca Juga : Regulasi Pengurai Keruwetan Transportasi
Sebaliknya,
ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran bagi yang tak lolos
dalam seleksi alam (persaingan) dengan bisnis model baru ini, kerugian-kerugian
besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi
oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.
Sekarang
negara punya dua pilihan. Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini menjadi ilegal economy dengan operator
pengendali dari luar Indonesia.
Kedua,
melegalkan sharing economy dan
mendorong pelaku-pelaku lama menyesuaikan diri
#RhenaldKasali