Jumat, 25 Maret 2016

CARA MELAWAN AHOK




Dengan petahana memilih jalur independen ketimbang parpol, proses dan hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 bakal menjadi barometer politik nasional.

Tidak dapat dipungkiri, posisi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai petahana saat ini paling kuat di antara nama-nama bakal calon Gubernur DKI yang telah muncul. Berbagai hasil survei pun menyokongnya.

Agar dapat mengalahkan Ahok, para penantang bisa saja menyerang. Namun, bentuk serangan harus mencerminkan kecerdasan berpikir agar tidak dicemooh pemilih.

Untuk mengalahkan Ahok bukan dengan cara diserang, melainkan justru dengan bukti intelektual bahwa Ahok salah. Tudingan korupsi RS Sumber Waras yang kerap diungkit-ungkit untuk menumbangkan Ahok. Faktanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan bukti Ahok melakukan tindak korupsi.

Kandidat kandidat penantang Ahok harus bisa meyakinkan publik untuk pembenahan Jakarta yang lebih baik. Jika tidak, mereka tentu tidak bisa menyaingi Ahok. Ahok itu incumbent dan sudah terlihat bukti hasil kerjanya berhasil atau tidak. Bukti yang tersaji itu pula yang menyebabkan elektabilitas Ahok dari banyak survey masih lebih tinggi daripada kandidat-kandidat lain.

Peneliti senior CSIS J. Kristiadi mengungkapkan cara sederhana mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Kandidat penantang Ahok harus bisa membuktikan diri bahwa bakal calon tersebut mempunyai prestasi yang lebih dari apa yang sudah dikerjakan Ahok di DKI Jakarta. Melawan Ahok tidak bisa mengumbar janji saja dan mengatakan bahwa “mereka akan” tetapi harus menunjukkan bukti bahwa mereka sudah melakukan sesuatu khusus di level eksekutif. Ahok pasti akan menjual kesuksesannya memimpin Jakarta, maka lawan minimal membuktikan hal serupa. Kalau tidak, percuma lawan Ahok.

Cara lain mengalahkan Ahok itu adalah dengan “cuek” terhadap aksi-aksi kontroversial yang dilakukannya. Makin di bully, Ahok bukannya makin kerdil malah makin kuat. Kandidat harus memperkenalkan diri di darat, bukan di medsos. Di medsos ributnya bukan main, tapi yang memilih dan punya hak pilih belum tentu 20% penduduk DKI. Kasus RS Sumber Waras dan kasus-kasus lainnya tidak akan menjatuhkan Ahok. Belajar dari Pilpres, isu PKI, isu cina, isu Islam abangan, isu klenik, isu korupsi tidak juga membuat Jokowi jatuh. Dengan “cuek”, popularitas yang Ahok akan turun. Media yang menyokongnya tak lagi bisa gegap gempita menurunkan ‘prestasi-prestasi’ yang bersangkutan, walhasil yang ditunjukkannya adalah poor performance sebagai pejabat. Dengan sepinya kontroversi itu, maka otomatis sponsor akan menghentikan pendanaan buat para pegiat itu, dan akhirnya ide-ide kontroversial itu pun mati.

Proses dan hasil pilkada DKI akan menjadi barometer politik nasional. Hal itu disebabkan ada petahana yang lebih memilih maju lewat jalur perorangan ketimbang pinangan partai politik. NasDem dan Hanura telah mendukung Ahok lewat perorangan. Ini hal yang menarik ketika calon perorangan didukung parpol yang memiliki fraksi di parlemen.

Come On Guys, Seranglah Ahok Secara Intelektual



#MediaIndonesia
#PutraAnanda


Baca Juga :





Rabu, 23 Maret 2016

REGULASI PENGURAI KERUWETAN TRANSPORTASI



Kodrat transportasi ialah untuk kelancaran angkutan. Namun, tetap saja tanpa regulasi yang jelas, model transportasi semodern apa pun tidak akan berguna dan malah menimbulkan kesengkarutan. Itulah yang terjadi kemarin di Ibu Kota.

Di jalan-jalan utama Jakarta, para pengemudi taksi konvensional bentrok dengan para pengemudi transportasi berbasis aplikasi daring. Aksi anarkistis pengemudi angkutan konvensional jelas tidak dapat dibenarkan dan harus ditindak.

Di sisi lain, kemarahan itu tidak sulit dipahami sebagai bentuk frustrasi dan ketidakberdayaan akan iklim kerja yang tidak fair.

Memang, pemerintah bukannya tinggal diam. Setelah demonstrasi para pengemudi taksi pada 14 Maret lalu, pemerintah mendorong transportasi berbasis aplikasi daring tersebut agar berbadan hukum. Langkah awalnya ialah dengan membentuk koperasi.

Pada Senin (21/3), Uber mengumumkan mitranya di Indonesia telah memperoleh akta pendirian koperasi dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Grab Car mengaku telah bergabung dengan Persatuan Pengusaha Rental Indonesia (PPRI).

Selanjutnya, sebagaimana usaha angkutan sewa lainnya, untuk dapat beroperasi, transportasi itu harus mendapatkan izin dari gubernur, bupati, atau wali kota.

Sampai di sini, meski proses tersebut belum tuntas dijalankan, aturan yang telah dimiliki pemerintah kelihatan cukup lengkap. Namun, kekhawatiran dan pertanyaan besar belum sepenuhnya terjawab, yakni apakah iklim usaha transportasi kita selanjutnya akan berjalan dalam kompetisi yang adil dan setara?

Kekhawatiran itu tidak berlebihan jika mengingat respons pemerintah selama ini yang terbilang lambat. Bom waktu polemik transportasi daring semestinya sudah terlihat dan diantisipasi melalui regulasi sejak hadirnya perusahaan perusahaan aplikasi untuk transportasi di Indonesia pada 2014. Namun, pemangku kebijakan menunggu dan seperti tak peka akan maraknya demonstrasi terkait dengan Uber dan perusahaan sejenis di seluruh dunia.

Kini, pemerintah semestinya juga jangan merasa cukup dengan regulasi yang ada. Pasalnya, perusahaan aplikasi memiliki inovasi yang demikian pesat. Regulasi semestinya akan menciptakan keadilan dan kesetaraan. Semua diperlakukan setara dan adil berdasarkan undang-undang.

Penelitian sebuah universitas ternama AS memperkirakan bahwa inovasi-inovasi perusahaan aplikasi dengan layanan transportasi bisa mengubah strata pekerjaan di negara tersebut. Jenis pekerjaan rendah atau tanpa keterampilan diramalkan berakhir riwayatnya terkena imbas perusahaan tersebut.

Memang ketika kemajuan teknologi tidak dapat dibendung, pilihannya tiada lain ikut beradaptasi, bukan menentang, sehingga manfaatnya bisa sama-sama dirasakan.

New York yang dikenal sebagai kota yellow cab ialah salah satu yang disebut berhasil beradaptasi. Pemerintah kota di sana mengkhususkan transportasi berbasis daring itu dalam kategori perusahaan transportasi berbasis jaringan dan menerapkan aturan khusus, termasuk pajak per trip. Pemerintah kota juga telah memperhitungkan rencana perkembangan usaha transportasi daring dengan layanan multipenumpang serupa angkot.

Dengan pajak tersebut pemerintah kota membangun transportasi massal yang nyaman, yang memang sebenarnya menjadi tujuan akhir para perusahaan transportasi berbasis daring. Dengan cara itulah kemajuan teknologi diupayakan menguntungkan banyak pihak dan bukannya membunuh kompetisi. Pilihan itu pula yang semestinya tidak mustahil diambil di Indonesia.



#MediaIndonesia





Selasa, 22 Maret 2016

KETIKA ANAK-ANAK MUDA MENGEKSPLORASI "SHARING EKONOMI"



Karena sharing, maka menjadi murah. Selamat datang anak-anak muda pembaharu!

Mereka memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan dalam peradaban “memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus membeli dan menguasai. Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, tanah, gedung, pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas.

Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka lapak di sana dan berbagi hasil.

Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan atau pool taksi.

Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga.

Kalau ini mewabah, gila! Indonesia bakal dilanda deflasi, bukan inflasi. Tapi kini mereka dituduh menerapkan strategi harga predator yang bisa diperkarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ongkos taksi yang harusnya Rp 150.000, cuma dihargai Rp 70.000.

Baca Juga : Blunder Kemenhub Menyikapi Transportasi Online

Kamar penginapan yang per malamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp 200 Ribu. Apa betul ini persaingan tak wajar?

Belum lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari. Milenials bukan saja pribumi di dunia digital, melainkan juga sharing economy.

Tapi gini ya, ini bukan prostitusi online yang bekerja sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata kita. Bahkan kita sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering menyamakan mereka dengan bisnis ilegal.

Persepsi ini diperburuk oleh ketidakmengertian kita tentang sharing economy yang gejalanya sudah marak dimana-mana. Kita bilang mereka menerapkan strategi “predatory pricing“. Kita juga bilang, aspek keamanan mereka tak terjamin.

Kedua isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang lalu. Makanya mereka mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang reputasinya buruk dari consumer experience, mereka drop dari komunitas berbagi itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di dunia maya.

Maka, bagi para orang tua, cara kerja anak-anak muda ini sulit dipahami. Sebagian pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang sudah terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar usaha mereka dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, dibubarkan, diblokir, dan diusir dari republik ini.

Namun susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak mengenal batas-batas negara. Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar negeri. Di luar neegri, kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan berkali-kali, tetapi mereka kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan dimodali Silicon Valley.

Saya sendiri memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin melawan proses alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi.

Sejak dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru menuntut manusia-manusia berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New Technology X Old Mindset hasilnya: Fail! Gagal! Jadi teknologi baru butuh mindset baru. Itu baru menjadi kesejahteraan.

Jadi, para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti tukang-tukang ojek pangkalan yang kini sudah berjaket hijau atau biru.

Sebagian customer masih nyaman pakai taksi langganannya. Tetapi pasarnya tinggal sedikit. Tak sebesar dulu lagi. Nah sebagian lagi, harus disiapkan dengan platform baru: sharing economy. Dan ingat, sebentar lagi pemilik-pemilik hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya menuntut airbnb.com, couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.

Problem yang muncul dari peradaban owning economy adalah sampah menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin kotor dan gap kaya-miskin begitu besar.

Semua ini disebabkan oleh tragedi kapitalisme yang menghargai penumpukan modal, hak-hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” secara adil dengan efek penguasaan aset-aset strategis.

Padahal dulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah ulayat yang tak berpagar.

Suasananya berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang lain yang mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk sekadar numpang lewat saja.

Peradaban owning economy membuat individu-individu tertentu cepat mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka waktu yang lama tak digunakan.

Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu menganggur. Termasuk lahan-lahan pertanian yang kelak akan dialihfungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak produktif.

Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren, semua dikuasai, tetapi belum tentu dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya. Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only!

Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan. Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy.

Mereka bilang, “buat apa membeli yang baru, kalau barang-barang yang lama saja masih bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang-barang bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil yang sudah langka kini bisa ditemui.

Lalu mereka juga bilang, ”buat apa beli sepeda motor baru, kalau yang ada di masyarakat bisa dijajakan oleh pemilik- pemiliknya.“ Itu menjadi Gojek dan Grabike.

Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar yang kosong ditawarkan secara online. Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa plus sebagai guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman sendiri.

Di Prancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke. Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.

Ketika Sharing Economy menjadi gejala ekonomi yang marak, maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga akan turun, ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan menginap yang murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga.

Baca Juga : Regulasi Pengurai Keruwetan Transportasi

Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan bisnis model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.

Sekarang negara punya dua pilihan. Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini menjadi ilegal economy dengan operator pengendali dari luar Indonesia.
Kedua, melegalkan sharing economy dan mendorong pelaku-pelaku lama menyesuaikan diri



#RhenaldKasali





Senin, 21 Maret 2016

MEMBENAHI BPJS KESEHATAN



Sejak ditetapkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk penduduk miskin dan tidak mampu melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pertama dinamakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (PJKMM) yang diubah menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), kemudian tahun 2008 diubah menjadi Jamkesmas. Kelompok penduduk miskin dan tidak mampu menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang biayanya merupakan tanggung jawab pemerintah.

Kemudian menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang menganut prinsip transparansi, kehati-hatian dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya. Lantas system iurannya menganut prinsip kegotong-royongan diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.

Prinsip kegotong-royongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.Sedangkan untuk iuran program jaminan sosial termasuk program jaminan kesehatan bagi peserta PBI dibayar oleh Pemerintah. Jadi, alokasi APBN untuk membayar iuran peserta PBI merupakan bentuk gotong-royong nasional, seluruh rakyat ikut membiayai.

Melihat animo masyarakat untuk menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan cukup besar. Data terbaru, peserta BPJS Kesehatan mencapai 142 juta orang. Proyeksi tahun 2015, jumlah peserta meningkat menjadi 168 juta orang dengan 30 juta orang merupakan pekerja penerima upah (PPU). Komposisi opini peserta BPJS juga tecermin dari jajak pendapat Kompas. Dari 592 responden jajak pendapat Litbang Kompas di 12 kota, 53,5% telah mengikuti BPJS Kesehatan. Komposisinya, lebih dari 60% pegawai negeri sipil dan pensiunan. Namun, dari 317 responden yang menjadi peserta program JKN BPJS Kesehatan, hanya 39,1% yang menyatakan puas terhadap layanan BPJS. Sebanyak 42,9% responden pengguna layanan BPJS Kesehatan masih menyatakan tidak puas. Ketidakpuasan tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berbagai hal, mulai dari kerumitan prosedur untuk mendapatkan layanan sejak pendaftaran keanggotaan hingga saat pemeriksaan.

Peserta BPJS tak bisa bebas memilih fasilitas kesehatan (faskes) karena program JKN menggunakan pola rujukan berjenjang. Pasien diharapkan berobat terlebih dahulu ke faskes tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, ataupun dokter keluarga. Jika membutuhkan layanan lebih lanjut dari dokter spesialis, pasien akan dirujuk ke faskes yang tingkat layanannya lebih tinggi. Masalah lain, masih sedikit faskes yang bekerja sama dengan BPJS. Hal ini kerap mengakibatkan antrean panjang pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Bahkan, antrean panjang pun terjadi ketika warga hendak mendaftarkan diri sebagai peserta di kantor cabang BPJS Kesehatan.

Salah satu penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia di faskes tingkat pertama belum memadai. Tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit sebagai tingkat layanan sekunder, yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu karena panjangnya antrean, sementara sumber daya manusia di rumah sakit terbatas.

Tidak hanya itu, sistem pembayaran iuran BPJS harusnya juga transparan. Artinya, peserta harusnya menerima struk pembayaran yang terinci jumlah pembayaran, jumlah bulan dan nilai iuran serta denda atas keterlambatan (kalau ada) secara lengkap. Namun dalam pelaksanaannya, struk pembayaran hanya mencantumkan data jumlah pembayarannya saja, tanpa rincian jumlah bulan dan denda keterlambatan. Jelas, data transaksi pembayaran iuran akhirnya tidak lengkap diketahui oleh peserta BPJS Kesehatan.

Saat ini, peserta BPJS PPU mencapai 33,9 juta peserta, terdiri dari PPU swasta; PPU PNS, TNI, dan Polri aktif; serta pensiunan. Rasio klaim BPJS Kesehatan 2014 mencapai 103,88%. Artinya, klaim yang harus dibayar pada program JKN lebih besar dibandingkan dengan iuran yang diperoleh. Karena itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional mengusulkan kenaikan iuran bagi semua kelompok peserta. Iuran Kondisi yang belum optimal dalam menjaring kerja sama dengan faskes dan banyak peserta potensial yang belum dirangkul, ditambah kualitas layanan yang belum memuaskan, membuat publik menilai iuran belum layak dinaikkan.

Dari 53,7% responden yang tidak setuju iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, 58,8% merupakan peserta dan 39,3% belum menjadi peserta. Menyelesaikan masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan tidak cukup dengan menaikkan iuran peserta. Jadi, harusnya ada evaluasi awal secara komprehensif dan terbuka antara Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan serta melibatkan wakil komponen buruh dan YLKI. Karena itu, adalah lebih baik menunda kenaikan iuran, ketimbang pemerintah dituding membuat gaduh di tengah rendahnya daya beli masyarakat saat ini.



#Neraca






BLUNDER KEMENHUB



Munculnya kontroversi angkutan berbasis aplikasi dalam jaringan (daring) atau online kembali mencuat ke permukaan, tidak lepas dari kelalaian Kementerian Perhubungan. Awal pekan ini ribuan pengemudi angkutan atau transportasi umum konvensional berunjuk rasa menuntut penertiban angkutan transportasi daring seperti GrabCar, Uber, dan GoJek.

Sopir taksi, sopir transportasi umum, tukang ojek pangkalan, dan pengemudi transportasi konvensional lain mengeluhkan karena kehidupan mereka terancam. Sejak transportasi daring menjadi tren, pangsa pasar transportasi konvensional menyusut. Dalam bahasa para sopir angkot, mereka tidak bisa lagi memenuhi setoran kepada pemilik modal sehingga mereka terpaksa harus nombok.

Dalam pendekatan bisnis, transportasi daring memang menjadi ancaman serius bagi transportasi konvensional. Transportasi daring menghadirkan inovasi radikal melalui pemanfaatan teknologi informasi. Inovasi telah membuat konsumen memesan taksi dengan cara jauh lebih mudah dan mendapatkan harga jauh lebih murah. Secara teoretis, pelayanan dan harga menjadi faktor penggerak elastisitas penawaran dan permintaan.

Keunggulan pelayanan dan pelayanan yang ditawarkan transportasi daring telah menggerakkan permintaan konsumen yang kian rasional. Celakanya, mereka menjadi subtitusi bagi transportasi konvensional. Konsumen transportasi umum yang jumlahnya relatif tetap, secara masif bergeser dari transportasi konvensional ke transportasi daring. Di dunia bisnis persaingan adalah hal wajar dan lumrah.

Bahkan persaingan dibutuhkan untuk menjadi stimulan pelaku bisnis agar terus melakukan perbaikan demi memenuhi kepuasan konsumen. Tapi, apakah persaingan tersebut memenuhi kaidah persaingan usaha yang sehat, itulah yang harus menjadi perhatian pemerintah cq Kemenhub.

Berdasarkan UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, misalnya, transportasi daring tidak terdaftar sebagai transportasi umum. Nah, Kemenhub seharusnya berinisiatif mengajukan revisi (perubahan) atas UU tersebut agar dapat mengakomodasi masuknya transportasi daring.

Ketika pertama kontroversi muncul pada kasus angkutan Gojek, Presiden Jokowi sudah mengingatkan Menteri Perhubungan agar melakukan revisi UU tersebut. Namun yang dilakukan saat itu Menhub menyurati Kapolda Metro Jaya yang intinya supaya melakukan penangkapan terhadap pengendara Gojek karena dianggap melanggar UU tersebut.

Sama halnya dengan kasus Gojek, pada kasus Grabcar dan Uber, Menhub menyurati Menteri Kominfo agar memblokir aplikasi perusahaan jasa transportasi daring tersebut, namun Menkominfo maupun Kapolda Metro Jaya sama sekali tidak menggubris permintaan dari Menteri Perhubungan tersebut.

Perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird dan Express harusnya mampu memahami penggunaan aplikasi online untuk memudahkan pelayanannya. Dan dalam situasi persaingan sehat sekarang, taksi konvensional harusnya menurunkan tarif buka pintu pertama dari sekarang Rp 7.500 menjadi Rp 6.500-Rp 6.000 ika ingin kehidupan para supir taksi konvensional dapat tetap aman dan mampu mendapatkan setorannya. Bukan dengan cara demo mengerahkan massa supir taksi dan kendaraan umum yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Intinya, Kementerian Perhubungan harus sadar dan segera melakukan revisi UU tersebut sesuai pesan Presiden beberapa waktu lalu, agar semua transportasi umum dapat melakukan inovasi dan meningkatkan inovasi layanan sehingga konsumen semakin diuntungkan, dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku dan UU perlu direvisi menjadi domain Kemenhub.



#Neraca






MINYAK, BIANG KERUSUHAN



Akhir tahun lalu, Indonesia telah resmi menjadi anggota OPEC (lagi). Kendati tidak murni sebagai eksporti minyak, toh kebanyakan minyak Indonesia diekspor, untuk kemudian diimpor kembali.

Jumlah yang diimpor, cukup banyak. Hitung saja  saat ini rata-rata kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Dari jumlah itu, kapasitas produksi BBM di dalam negeri hanya 650.000 barel per hari. Selebihnya impor.

Total jenderal kita harus impor BBM dan minyak mentah 850.000 barrel. Makanya, ketika harga si emas hitam mencapai US$ 100 per barel, pemerintah kita menjerit. Sebab, itu berarti harus disediakan devisa US$ 85 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun (jika dihitung dengan kurs Rp 13.300).

Makanya, ketika harga sedang menukik seperti sekarang (di kisaran US$ 32 per barel), Presiden Joko Widodo segera menginstruksikan Pertamina untuk membeli sebanyak mungkin. Soalnya, di atas kertas, ‘keuntungan’ yang diperoleh Indonesia lumayan banyak. “Waktu harga minyak murah semestinya dipikirkan Pertamina bagaimana bisa membeli stok sebanyak-banyaknya,” kata Jokowi.

Mantan Walikota Solo ini tak mempersoalkan stok tersebut mau ‘diparkir’ alias disimpan di dalam atau luar negeri. Setidaknya, Pertamina memiliki stok banyak untuk mengantisipasi di saat harga minyak kembali meroket.
Jika Indonesia sedikit bersuka dengan rendahnya harga, lain halnya dengan negara-negara eksportir murni yang selama ini mengandalkan pembangunan negerinya dari harga minyak. Pemerintahnya bingung, bagaimana harus membayar utang. Bahkan, beberapa fasilitas yang selama ini dinikmati rakyatnya sudah dipotong habis.

Belum lagi rating atau peringkat utang yang diturunkan Standard and Poor's. Setidaknya ada lima negera yang peringkat utangnya diturunkan, yakni Arab Saudi, Oman, Bahrain, Brazil dan Kazakhstan.

Arab Saudi, memang cukup terpukul dari anjloknya harga minyak dunia. Sebab, 75% pendapatan negara bersumber dari minyak. Akibat turunnya harga, anggaran Saudi mengalami kondisi sangat sulit alias defisit. “Dalam pandangan kami, penurunan harga minyak berdampak langsung ke kondisi lima negara yang isi fiskal dan indikator ekonomi Saudi karena ketergantungan sangat tinggi terhadap minyak,” tulis lembaga rating S&P.

Neraca keuangan Saudi mengalami defisit US$ 100 miliar di 2015. Tahun ini, Saudi memutuskan untuk memangkas 14% belanja negara. Kerajaan Saudi memproyeksi defisit anggaran bisa mencapai 13% dari GDP di 2016.
Sedangkan, S&P menilai penetapan anggaran Saudi masih mematok harga minyak US$ 41 per barel, namun faktanya harga minyak masih bertengger di angka US$ 31 per barel.

Kazakhstan juga menderita karena separuh pendapatan negara berasal dari ekspor BBM. Sepanjang 2015, mata uang Kazakhstan juga anjlok hampir 50% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Bahrain juga bernasib serupa. Hampir 75% pendapatan negara Arab ini datang dari minyak dan 60% ekspor Bahrain datang dari migas. Akibat kondisi ini, utang Bahrain ikut naik. S&P memproyeksi komposisi utang Bahrain bisa menyentuh 77% dari GDP di 2017.

Hal serupa menimpa negara Amerika Latin, Brazil. Negeri Samba ini, sangat terpukul karena turunnya harga minyak. IMF menilai pertumbuhan ekonomi Brasil kembali akan turun hampir 3,5% dari proyeksi awal hanya 1%.

Itu sebabnya, negara-negara tersebut sekarang sedang melakukan penghematan di segala bidang di samping juga meningkatkan pejak sebagai pemasukan. Dan pasar analis menilai ini langkah bagus. Namun, bisa memicu kerusuhan.


#ReviewWeekly
#BudiKusumah





KARTIKA WIRJOATMODJO JADI BOS BARU BANK MANDIRI

Teka-teki siapa pengganti Budi Gunadi Sadikin sebagai Direktur Utama Bank Mandiri akhirnya terjawab sudah. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Luar Biasa (RUPSTLB) yang salah satu agendanya adalah pemilihan Direktur Utama, telah memilih Kartika Wirjoatmodjo untuk memimpin Bank Mandiri.



Keputusan tersebut diambil setelah pemegang saham melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Luar Biasa di Plaza Bank Mandiri, Jakarta, Senin (21/3/2016).

Dalam agenda perubahan pengurus perseroan, terdapat 3 direksi yang berakhir masa jabatannya. Ketiga direksi tersebut adalah Budi Gunadi Sadikin yang menjabat sebagai Direktur Utama. Budi diangkat pada 23 Mei 2011 dan telah menjalani 2 periode jabatan. Oleh karena itu, sesuai dengan aturan yang ada Budi Gunadi Sadikin tidak bisa dipilih kembali. Direksi kedua yang telah berakhir masa jabatannya adalah Sentot A Sentausa yang merupakan Direktur Distribusi. Sentot diangkat pada 23 Mei 2011 lalu dan telah menjalani 2 periode jabatan. Terakhir adalah Royke Tumilaar yang menjabat sebagai Direktur Corporate Banking. Royke diangkat pada 23 Mei 2011 namun baru menjalani 1 periode jabatan.

Dengan berakhirnya masa jabatan 3 direksi tersebut. RUPS Bank Mandiri memutuskan untuk mengangkat 3 direksi baru. Pertama adalah Kartika Wirjoatmodjo yang menggantikan posisi Budi Gunadi Sadikin sebagai Direktur Utama. Selain itu, RUPSTLB juga mengangkat Rico Usthavia Frans menjadi Direktur yang sebelumnya adalah Senior Vice President Electronic Banking Bank Mandiri untuk menggantikan Sentot A Sentausa. Terakhir, RUPS Bank Mandiri mengangkat kembali Royke Tumilaar menjadi direktur.

Di posisi Komisaris Utama, Wimboh Santoso tampil menggantikan pejabat sebelumnya yang dipegang Darmin Nasution. Selain itu, ada tambahan nama baru di posisi Komisaris yakni Ardan Adiperdana.

RUPSTLB juga mengesahkan laporan keuangan perseroan periode 2015 serta pembayaran dividen. Pembayaran dividen diputuskan sebesar 30 persen dari laba 2015 yakni Rp. 6,1 triliun atau Rp. 261,44 per lembar saham. Sedangkan 11,95 triliun ditetapkan sebagai laba ditahan.

Berikut susunan Dewan Pengurus PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Dewan Komisaris :
Komisaris Utama / Komisaris Independen : Wimboh Santoso
Wakil Komisaris Utama : Imam Apryanto Putro
Komisaris Independen: Goei Siauw Hong
Komisaris Independen : Aviliani
Komisaris Independen : Bangun Sarwito Kusmulyono
Komisaris Independen : Abdul Aziz
Komisaris : Suhwono
Komisaris : Askolani
Komisaris : Ardan Adiperdana

Direksi :
Direktur Utama : Kartika Wirjoatmodjo
Wakil Direktur Utama : Sulaiman Arif Arianto
Direktur : Royke Tumilaar
Direktur : Hery Gunardi
Direktur : Ogi Prastomiyono
Direktur : Pahala N Mansury
Direktur : Kartini Sally
Direktur : Ahmad Siddik Badruddin
Direktur : Tardi
Direktur : Rico Ushavia Frans

Profil Kartika Wirjoatmojo

Lahir di Surabaya pada 18 Juli 1973, Kartika merupakan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menempuh jenjang pendidikan sarjana dengan mengambil jurusan ekonomi dan akuntansi, beliau berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1996.

Kartika kemudian memulai kariernya sebagai konsultan akuntan dan pajak di RSM AAJ Associates sejak tahun 1995 hingga tahun 1996. Selanjutnya, ia bekerja sebagai Analis Kredit di Mizuho Corporate Bank (1996-1998), Konsultan Senior di PriceWaterhouseCoopers (PwC) sebagai Financial Advisory Services (1998-1999) dan Boston Consulting Group (2000-2003).

Di tengah kesibukan saat meniti karir sebagai ekonom, Kartika berhasil menyelesaikan pendidikan dengan gelar Master Of Business Administration dari Erasmus University, Rotterdam, Belanda pada tahun 2001.

Pada 2003, Kartika memutuskan bergabung dengan Bank Mandiri sebagai Kepala Departemen Analisis Strategi & Keuangan. Kartika bahkan dipercaya untuk memimpin divisi sebagai Group Head.

Pada tahun 2008, karier Kartika semakin menanjak. Ia ditugaskan oleh Mandiri Sekuritas sebagai Managing Director. Dia pun mengemban tugas khusus untuk melakukan restrukturisasi keuangan dan refocusing bisnis, pasca krisis 2008 di pasar modal.

Pada 2011, dia kemudian ditugaskan oleh Menteri Keuangan untuk memimpin sebuah lembaga yang baru dibentuk untuk mempromosikan investasi infrastruktur di Indonesia. Kartika pun akhirnya menjabat sebagai CEO di Indonesia Infrastructure Finance (2011-2013) dan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tahun 2014-2015.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan Bank Mandiri pada tahun 2015, Kartika akhirnya ditunjuk sebagai Direktur Keuangan dan Strategi. Kini, berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan 2016, Kartika dipercaya untuk menjabat sebagai Direktur Utama Mandiri untuk menggantikan Budi Gunadi Sadikin yang masa jabatannya.



Kamis, 17 Maret 2016

BLOK MASELA - Seperti Kucing Dalam Karung



Apa yang akan diputuskan presiden dalam waktu dekat ini? Sulit ditebak. Soalnya, dua pendapat berbeda itu keluar dari mulut dua menteri yang menjadi jagoan presiden. Mereka, selama ini, sangat diandalkan untuk menghantam ‘musuh-musuh’ dalam selimut. Tapi kini mereka cek-cok mempertahankan pendapatnya dengan kepentingan berbeda.

Menko Rizal Ramli mengusulkan agar Blok Masela dikembangkan secana onshore. Alasannya, biaya yang dikeluarkan akan lebih ringan. Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya, biaya pembangunan kilang darat (onshore) sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), nilai investasinya lebih mahal mencapai US$ 22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan dengan kilang di laut.

Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Keduanya kompak menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya menelan dana US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai US$ 19,3 miliar. Ini yang dipegang Menteri Sudirman Said.

Tapi Rizal punya kilah lain. Kata dia, Inpex dan Shell (pemegang saham Blok Masela) telah menggelembungkan anggaran pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut.

“Kita tantang mereka, jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi US$ 14,8 miliar, maka Inpex dan Shell harus bertanggungjawab mendanai kelebihannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery. Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat,” papar Rizal.

Sudirman Said tak hendak mengalah begitu saja. Selain oleh SKK Migas, ia juga didukung oleh ekonom Faisal Basri. Menurut mantan Ketua Tim Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi itu, opsi pembangunan Blok Masela secara onshore tidak efisien dan sarat dengan kepentingan pihak-pihak yang mendukungnya.

Dalam opsi onshore, kontraktor harus membangun pipa sepanjang 600 kilometer. Sehingga, biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor akan semakin besar, terlebih lagi kontraktor juga tidak mau keuntungannya berkurang. Oleh karena itu, Faisal menilai bagi hasil blok masela jika menggunakan skema onshore akan berbanding terbalik dengan offshore. “Pemerintah malah bisa 20%, nah mereka 80%,” kata Faisal.

Singkat kata, skema pembangunan onshore sarat kepentingan. Selain kepentingan pemilik pabrik pipa, juga menyangkut pembebasan lahan. Skema onshore membutuhkan sedikitnya 600 hektar lahan, sedangkan offshore hanya 40 hektar saja.

Akibatnya, pembangunan akan berlangsung lama dan mahal karena tersangkut pembebasan lahan. Benarkah perhitungan ini? Ini yang harus ditelaah oleh Jokowi. Sebab, sebelum dibuktikan di lapangan, Blok Masela seperti kucing dalam karung.



#ReviewWeekly





Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA