Sabtu, 27 Agustus 2016

SIASAT DI BALIK SUAP REKLAMASI




Reklamasi Teluk Jakarta tak hanya alot saat memulainya 21 tahun lalu, juga liat saat menghentikannya. Setelah mulus hingga pengurukan, karena ditentang sana-sini, pemerintah menghentikan sementara pembuatan 17 pulau itu pada 19 April 2016. Tiga bulan kemudian, atau 29 Juni 2016, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengumumkan pembuatan Pulau G dihentikan secara permanen.

Pulau C, D, dan N dilanjutkan dengan sejumlah perbaikan. Tim Bersama Reklamasi masih menggodok kemungkinan menghentikan pulau lain yang belum sempat dibahas. Pulau G disetop karena pembuatannya masuk kategori pelanggaran berat: jarak pulau ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang tak lebih 300 meter. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5/2010 tentang Kenavigasian pasal 38 ayat 3a, zona aman di sekitar objek vital minimal 500 meter.

Setelah keputusan yang diteken Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo karena keberatan pada putusan itu.

Menurut Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Oswar Muadzin Mungkasa, yang juga anggota Tim Bersama, keputusan itu melenceng dari rekomendasi tim. Ada tiga tim kecil dalam Komite: penyelaras aturan, lingkungan hidup, dan tim teknis reklamasi. Menurut Oswar, tim merekomendasikan Pulau G tetap dilanjutkan dengan perbaikan.

Dalam slide presentasi tim, Pulau G memang tak dihentikan. Namun, menurut Deputi Menteri Kemaritiman Bidang Maritim Safri Burhanuddin, slide hanya presentasi saat rapat. Keputusan Pulau G diambil setelah itu dengan menimbang banyak usulan dari peserta rapat. “Tim dari Kementerian Kelautan usul izin dicabut, semua setuju,” kata Menteri Rizal pekan lalu.

Saat rapat itu, kata Rizal, Oswar tak menyampaikan keberatan seperti ditulis dalam surat kepada Presiden. “Dia malah setuju, cek saja ada rekaman rapatnya,” kata Rizal. Safri menambahkan ada pernyataan Oswar soal Pulau G dalam surat kepada Tim. “Tapi dalam rapat terbuka dia tak ngomong apa-apa,” Rizal menimpali.

Rizal meminta Gubernur Basuki tak cengeng karena mengadukan semua hal kepada presiden. Soal reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, cukup diputuskan tiga menteri. Basuki menanggapinya dengan dingin. Menurut dia, laporannya kepada presiden karena izin reklamasi berdasarkan Keputusan Presiden. “Kalau tak melapor saya juga salah,” katanya.



Kementerian Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.

Dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Pulau A dan B berada di Jakarta dan Banten. Pulau ini dibuat oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, yang dipimpin anggota Dewan Perwakilan Daerah Nono Sampono. Nono menjadi rival Basuki dalam pemilihan gubernur 2012 sebagai calon wakil gubernur mendampingi Alex Noerdin dari Golkar. “Keterlibatan Kementerian dalam penerbitan Amdal tak bisa ditawar lagi karena itu satu kawasan ekosistem,” ujar San Afri yang menjadi Koordinator Tim Lingkungan dalam Komite Bersama.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati berpendapat lain. Menurut dia Pulau A dan B akan dipisahkan oleh kanal yang sekaligus menjadi batas dua provinsi itu. Pemerintah Jakarta hanya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi untuk pulau yang ada di wilayah Ibu Kota. “Karena ada di Jakarta, Amdal dari kami,” katanya.

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jakarta Junaedi menambahkan dasar pemerintah daerah menerbitkan Amdal yang tak dinilai Kementerian Lingkungan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/2013 tentang Tata Laksana Penilaian Dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup Serta Penerbitan Izin Lingkungan. Menurut aturan itu, jika reklamasi di satu provinsi, penilainya cukup Komisi Amdal Daerah. Dengan basis itu pemerintah Jakarta sudah menyetujui sepuluh Amdal untuk sepuluh pulau.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.

Tuty menyangkal Susi. Menurut dia, Jakarta bukan termasuk kawasan strategis nasional tertentu, melainkan hanya kawasan strategis nasional belaka. Dua kategori ini, kata Tuty, diatur dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional serta Peraturan Presiden Nomor 54/2008 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Lagi pula, kata Tuty, Keputusan Presiden Nomor 52/1995, yang menjadi dasar pemerintah Jakarta mengeluarkan izin reklamasi, berlaku lex specialist. Ia mengklaim diskusi antara pemerintah pusat dan daerah mengerucut pada persetujuan pandangan Tuty. Untuk memperjelasnya, segala perdebatan aturan itu dibahas dalam Komite Bersama.

Menteri Rizal menyergahnya. Menurut dia, di Indonesia hanya ada dua aturan khusus yang bisa mengabaikan aturan lain, yakni Undang-Undang Minyak dan Gas serta aturan tentang kontrak karya perusahaan minyak. Dua aturan ini mengabaikan aturan pajak. “Saya tak pernah dengar ada keputusan presiden bersifat lex specialist,” kata Rizal.

Moratorium membuat segala izin yang telah dikeluarkan untuk segala kegiatan reklamasi berada dalam status quo. Soalnya, Tim Reklamasi merekomendasikan agar izin semua pulau diajukan baru kepada Kementerian Perhubungan karena Teluk Jakarta berada di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Kewenangan ini diatur dalam PP 5/2010 itu. Izin reklamasi 17 pulau sejauh ini diterbitkan hanya oleh Gubernur Jakarta.

Setelah izin reklamasi diterbitkan Gubernur Jakarta sejak 2010, dasar kegiatan pengembang membuat bangunan di atas pulau yang sudah jadi adalah Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara. Dua aturan tersebut batal disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok Mohamad Sanusi, politikus Gerindra, seusai menerima suap dari Direktur Utama Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja pada 31 Maret 2016.

Podomoro telah selesai membuat pondasi Pulau G. Urukannya mencapai 18 persen ketika dihentikan. Perusahaan properti itu juga sudah lama mengiklankan dan menjual apartemen dan perkantoran di pulau seluas 161 hektare itu. Ariesman ikut menjadi tersangka karena diduga menyuruh anak buahnya memberikan Rp 1,1 miliar kepada Sanusi, Ketua Komisi Pembangunan DPRD Jakarta. Ia bukan anggota Badan Legislasi yang memutuskan dua Rancangan aturan itu, tapi diduga berperan mengatur anggota Dewan merancang siasat pengembang menjegal aturan-aturan yang memberatkan mereka.

Sanusi, misalnya, diduga menjadi perantara pertemuan antara Sugianto Kusuma, pemilik Agung Sedayu, dengan pimpinan DPRD. Mereka adalah Ketua Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik—kakak Sanusi—Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, dan anggota Ongen Sangaji pada Desember lalu. Di DPRD, keempatnya kerap disebut “Geng STOP”—akronim dari nama mereka.

KPK menduga suap yang sudah diberikan lima kali secara bertahap itu untuk menurunkan kontribusi tambahan pengembang sebesar 15 persen menjadi lima persen yang diinginkan Gubernur Basuki dalam Rancangan Perda Tata Ruang. Dalam Rancangan itu, Gubernur Basuki mewajibkan pengembang membangun 40 persen lahan untuk ruang terbuka hijau, 5 persen untuk fasilitas umum dan khusus, seperti rumah susun sederhana untuk pekerja pulau. Dari jumlah itu, pengembang masih wajib membayar 15 persen x nilai jual objek pajak x luas lahan yang terjual. Dengan asumsi nilai pajak Rp 25 juta dan semua lahan hak pengembang terjual, pemerintah Jakarta bakal mendapat Rp 48 triliun dari sepuluh pulau—tujuh pulau milik pemerintah.

Penangkapan Sanusi itu mengingatkan Tuty pada kejadian 8 Maret 2016. Ia dan beberapa pejabat teras Jakarta dipanggil Basuki ke ruang kerjanya di Balai Kota. Tuty menyodorkan draf Rancangan yang dititipkan Ketua Badan Legilsasi Mohamad Taufik. Dalam draf itu, Taufik mengusulkan agar kontribusi tambahan diatur dalam perjanjian antara Gubernur dengan pengembang saja. Itu pun besarnya hanya 5 persen yang bisa diambil di awal, yakni sebelum pengerjaan reklamasi dan penjualan lahannya berlangsung. Bunyi pasal 110 ayat 5 huruf c yang diajukan Taufik berbunyi: “Tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang akan diatur dengan perjanjian kerjasama antara gubernur dengan pengembang”.




Basuki meledak membaca usulan itu. “Urat lehernya sampai keluar,” kata Tuty. Basuki lalu mencoret-coret draf dari Taufik tersebut dengan kata-kata “Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi!”. Menurut Tuty, dugaan KPK soal penurunan kontribusi tambahan itu agak keliru karena upaya DPRD mengurangi kontribusi tambahan memakai pelbagai cara. Kontribusi turun dari 15 persen menjadi 5 persen hanya salah satu siasat.

Sebetulnya, mengutak-atik rumus kontribusi tambahan adalah cara kedua politikus di DPRD mengurangi kewajiban pengembang kepada pemerintah. Cara pertama adalah memindahkannya ke peraturan gubernur. Rumus tak berubah, hanya tak diatur dalam Perda. Basuki sudah setuju dengan usul ini. Ia berpikir mendapat cek kosong karena pengaturan kontribusi bisa dia atur sepenuhnya.

Dalam draf 22 Februari 2016, kontribusi tambahan pada pasal 116 sudah dilempar ke peraturan gubernur. Belakangan ia sadar itu rencana jangka panjang DPRD berkaitan dengan pemilihan gubernur. Sanusi berniat melawannya dalam pemilihan 2017. “Jika calon mereka menang, peraturan gubernur bisa dibatalkan,” kata Basuki.

Dugaan ini dikonfirmasi Sanusi saat memberi keterangan dalam pengadilan pada Senin dua pekan lalu. Ia mengatakan pemberian uang dari Ariesman itu akan ia jadikan modal menjadi calon gubernur Jakarta menantang Basuki Tjahaja Purnama. Sebelum ditangkap, wajah Sanusi sempat menghiasi beberapa sudut Jakarta dengan menyebut diri “Bang Uci”. Spanduk menghilang setelah ia dicokok KPK.

Maka Basuki pun kembali ke usul semula, yakni menempatkan kontribusi tambahan 15 persen dalam Perda. Keputusan Basuki ini membuat DPRD memakai siasat lain. Dalam rapat pimpinan gabungan antara eksekutif dan DPRD pada 16 Maret, Taufik kembali membahas penurunan kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi minimal 5 persen. “Kami ingin memberi ambang batas minimal,” kata dia.

Untuk mengajukan usul itu, Taufik memakai alibi bahwa BUMN yang mengelola pulau tak akan sanggup membayar karena harus menyetor uang triliunan rupiah kepada pemerintah. Ia juga menyebut kontribusi tambahan tak punya dasar hukum. Partai-partai pendukung reklamasi kompak mendukung Taufik.

Tuty berkilah bahwa kontribusi tambahan mengacu kepada Undang-Undang 30/2014 tentang administrasi pemerintah. “Ada diskresi kepala daerah dalam soal itu,” kata dia. Pemerintah ngotot bertahan dengan rumus itu, fraksi-fraksi juga kompak terus menerus menyuarakan usul Taufik. Fraksi yang menolak mendukung pemerintah bertambah. Rapat pun buntu.

Siasat lain setelah gagal menggoyang besaran kontribusi, DPRD menawarkan pematokan nilai jual objek pajak. Mereka setuju dengan rumus kontribusi tambahan, namun nilai pajak ditetapkan saat ini. “Beberapa anggota Dewan menginginkan di bawah perkiraan kami ,” kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Agus Bambang.

Pemerintah, kata Agus, belum menentukan pajak nilai jual karena daratannya belum semua terbentuk. Ia baru memperkirakan sebesar Rp 18-22 juta per meter persegi. Nilai tersebut diperoleh Dinas Pajak dari nilai pajak daratan hasil reklamasi terdekat dari Teluk Jakarta, yakni Pantai Indah Kapuk, saat ini. Pemerintah memperkirakan nilai pajak saat mulai dijual nanti sekitar Rp 36 juta per meter. “Perlu ada kajian lagi,” kata Agus.

Tak hanya memakai banyak siasat menurunkan kontribusi tambahan, anggota DPRD juga tak segan meminta suap kepada pemerintah. Setiap rapat pembahasan, Tuty kerap mendengar celetukan anggota Dewan yang meminta “suplemen”. “Saya tidak tahu artinya. Karena sering ada yang mengatakan itu, saya berniat bawa obat buat mereka,” kata Tuty.

Ingard Joshua mengaku mendengar banyak duit bertebaran di kalangan teman-temannya sejak Desember 2015. Itulah waktu pertemuan Geng STOP dengan Aguan terjadi. Politikus NasDem ini bahkan mendengar nilainya sekitar Rp 5 miliar yang disebar kepada anggota DPRD yang mendukung reklamasi dan bersedia hadir dalam sidang pengesahan.

Pengakuan Ingard dibenarkan Fajar Sidik. Politikus Gerindra ini mengaku ditawari Rp 100 juta jika datang dan setuju Rancangan Perda Zonasi yang diinginkan oleh DPRD pada 6 April. “Saya ditawari oleh orang partai,” katanya. Selain uang, anggota Dewan yang menolak reklamasi juga diimingi-imingi diskon 50 persen jika kelak membeli bangunan di pulau reklamasi. Tawaran itu datang kepada Fraksi Golkar. Bersama Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, mereka menolak reklamasi. Ketika dikonfirmasi soal tawaran itu, Ketua Fraksi Golkar, Ramli, tak menampik atau membenarkannya.

Semua siasat itu gagal karena dua perda itu batal disahkan. Anggota Dewan jeri penangkapan Sanusi merembet ke mana-mana. Apalagi dalam sidang Sanusi, jaksa membuka sadapan percakapan Geng STOP tentang siasat mengorder pasal kontribusi tambahan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat juga membatalkan reklamasi Pulau G selamanya, sebelum keputusan yang sama diketuk Rizal Ramli.



#TempoInvestigasi
#ErwanHermawan
#MawardahHanifiyani
#PutriAdityowati





PANAMA PAPERS : Jejak Korupsi Global dari Panama (5)



Pada 2005, sebuah kapal wisata bernama Ethan Allen tenggelam di Danau George, New York, AS, menewaskan 20 turis lanjut usia di atas kapal itu. Setelah korban kapal itu mengajukan tuntutan, terungkap bahwa perusahaan wisata pemilik kapal itu tak punya asuransi sama sekali karena mereka ditipu oleh gerombolan pemalsu polis asuransi.

Malchus Irvin Boncamper, seorang akuntan di St Kitts, di kepulauan Karibia, mengaku bersalah di pengadilan Amerika Serikat, atas perbuatannya membantu para penipu memuluskan upaya pemalsuan asuransi itu.

Belakangan kasus ini menjadi masalah untuk Mossack Fonseca karena Boncamper rupanya sudah lama punya pekerjaan sambilan menjadi "frontman" atau "nominee" atau nama bayangan untuk lebih dari 30 perusahaan yang dibuat Mossack.

Setelah vonis untuk Boncamper diketahui, Mossack bertindak cepat. Perusahaan ini mengganti nama Boncamper di semua perusahaan yang pernah melibatkan namanya, dan memundurkan tanggal dokumen agar tampak bahwa penggantian ini sudah dilakukan setidaknya satu decade sebelumnya.

Kasus Boncamper ini menunjukkan bagaimana firma hukum kerap menggunakan taktik yang tak terpuji untuk menyembunyikan metode mereka atau perilaku klien mereka dari endusan penegak hukum.

Pada Operasi Car Wash di Brasil, jaksa menuding karyawan Mossack Fonseca menghancurkan dan menyembunyikan dokumen untuk menutupi keterlibatan mereka dalam kasus pencucian uang di sana. Dokumen polisi menunjukkan bahwa satu ketika seorang karyawan Mossack di kantor cabang mereka di Brasil mengirim email pada rekan sekerjanya, meminta rekannya itu untuk menyembunyikan dokumen seorang klien yang sedang diincar dalam penyidikan polisi: "Jangan tinggalkan apapun. Aku akan simpan semuanya di mobil atau rumahku."

Di Nevada, AS, dokumen menunjukkan bagaimana karyawan Mossack Fonseca bekerja keras pada 2014 untuk mengaburkan kaitan antara kantor firma itu di Las Vegas dan kantor pusat mereka di Panama, untuk mengantisipasi perintah pengadilan AS yang akan memaksa mereka membuka informasi soal 123 perusahaan yang mereka dirikan di sana.

Informasi mengenai kaitan perusahaan di Nevada dan Panama penting karena para jaksa di Argentina sedang mencari kaitan sebuah perusahaan yang dibuat Mossack dan berbasis di Nevada itu dengan penyidikan skandal megakorupsi yang melibatkan bekas Presiden Néstor Kirchner dan Cristina Fernández de Kirchner.

Untuk lepas dari jerat hukum Amerika, Mossack menyatakan bahwa kantor cabangnya di Las Vegas yang bernama MF Nevada, bukanlah kantor cabang sama sekali. Markas utama Mossack di Panama tidak punya kewenangan apapun di kantor itu. Nah, dokumen internal yang bocor menunjukkan sebaliknya: Mossack di Panama memang mengendalikan rekening bank MF Nevada. Seorang pendiri dan seorang karyawan Mossack merupakan pemegang 100 persen saham MF Nevada.

Untuk menutupi kaitan ini, Mossack memindahkan semua dokumen dari kantor mereka di Nevada dan menghapus semua file di komputer mereka yang bisa mengaitkan Panama dan Nevada. Demikian terungkap dari percakapan email karyawan Mossack. Kekhawatiran utama mereka, satu email menjelaskan, adalah manajer kantor Nevada mungkin terlalu takut untuk berbuat apapun, sehingga "penyidik justru bisa menemukan kalau kita berusaha menyembunyikan sesuatu."

Mossack Fonseca menolak menjawab pertanyaan soal insiden Brasil dan Nevada, namun membantah semua tuduhan bahwa mereka terlibat dalam upaya menghambat penegakan hukum dan menyembunyikan kegiatan ilegal. "Menyembunyikan dan menghancurkan dokumen yang mungkin dibutuhkan dalam proses penegakan hukum, bukanlah kebijakan kami," demikian jawaban dari firma ini.

Pada 2013, Perdana Menteri Inggris David Cameron mendesak kawasan bebas pajak di negaranya --termasuk British Virgin Islands-- untuk bekerjasama "membersihkan rumah kita sendiri" dan bergabung dalam gerakan bersama melawan pelarian pajak dan kerahasiaan dunia offshore. Cameron sebenarnya tak perlu memulai jauh-jauh. Dia tinggal melihat apa yang dilakukan ayahnya untuk tahu seberapa besar potensi tantangan dari upaya semacam itu.


Ayah David Cameron, Ian Cameron, adalah seorang pialang saham dan miliarder dari Inggris, yang menggunakan Mossack Fonseca agar perusahaan dana investasinya, Blairmore Holdings, Inc., tidak harus membayar pajak di Inggris. Nama perusahaan itu diambil dari nama rumah keluarga Cameron di wilayah pedesaan Inggris.

Mossack kemudian mendaftarkan perusahaan investasi itu di Panama, meski banyak pemegang sahamnya berkewarganegaraan Inggris. Ian Cameron mengendalikan seluruh kegiatan perusahaan ini sejak pendiriannya pada 1982 sampai dia meninggal pada 2010.

Sebuah dokumen prospektus untuk investor Blairmore mencantumkan pengakuan bahwa perusahaan itu "sebaiknya dikelola dan diatur agar tidak menjadi bagian dari sistem di Inggris dan menjadi wajib pajak di Inggris."

Perusahaan ini mencapai tujuan itu dengan menggunakan sertikat kepemilikan yang mustahil dilacak, yang biasa disebut 'saham atas nama' (bearer shares) dan mempekerjakan direksi 'nominee' di Bahama. Sejarah Ian Cameron menghindari pajak merupakan contoh bagaimana dunia offshore berjalin erat menjadi satu dengan nama-nama elite politik dan bisnis di seluruh dunia. Tak hanya itu, keberadaan sistem rahasia ini kerap menjadi sumber pemasukan untuk banyak negara. Konflik kepentingan yang begitu dalam ini membuat semua upaya untuk mereformasi system finansial ini menjadi amat sulit.

Di Amerika Serikat saja, negara bagian seperti Delaware dan Nevada -- yang memang memperbolehkan perusahaan didaftarkan secara anonim-- terus melawan semua upaya reformasi untuk memaksa mereka jadi lebih terbuka. Negara asal Mossack Fonseca, Panama, juga menolak untuk terlibat dalam rencana global untuk saling bertukar informasi mengenai rekening bank nasabah, karena mereka takut industri offshore di Negara mereka jadi tidak kompetitif lagi. Pejabat Panama mengaku siap bertukar informasi, namun dalam skala yang lebih kecil.

Kondisi ini mempersulit para penegak hukum yang harus membongkar dan menghentikan kejahatan yang semua transaksinya disembunyikan di balik lapisan kerahasiaan. Satu alat yang efektif untuk membongkar jejaring gelap ini adalah pembocoran berbagai dokumen offshore yang bias menyeret semua transaksi gelap ini ke tempat yang lebih terbuka.

Kepada Tempo, Menteri Keuangan Indonesia Bambang Brodjonegoro menjelaskan bahwa pemerintah sudah mengantongi data mengenai ribuan perusahaan offshore dan perusahaan cangkang milik orang Indonesia di luar negeri. "Nilainya ribuan triliun rupiah," kata Bambang. UU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di Senayan, kata dia, adalah upaya pemerintah menarik pulang semua dana itu.


Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa berbagai kebocoran dokumen yang diungkap oleh ICIJ dan media mitranya, cukup efektif untuk mendorong adanya legislasi baru dan dimulainya penyidikan di belasan negara. Laporan semacam ini juga membuat para klien offshore ketakutan suatu saat rahasia mereka bakal terbongkar.

Pada April 2013, setelah ICIJ pertama kali mempublikasikan laporan berjudul "Offshore Leaks" mengenai kebocoran dokumen rahasia di British Virgin Islands dan Singapura, sejumlah klien Mossack Fonseca menulis email, meminta jaminan dari perusahaan itu bahwa rahasia mereka bakal aman dari kebocoran.

Sebagai jawaban, Mossack Fonseca meminta klien mereka agar tak usah khawatir. Mereka menegaskan bahwa komitmen mereka untuk menjaga privasi klien "adalah prioritas utama kami. Semua informasi rahasia Anda tersimpan dalam pusat data kami yang amat canggih dan semua komunikasi Anda dengan jejaring global kami dilakukan lewat saluran yang terenkripsi dengan algoritma berstandar dunia."


TAMAT



Laporan ini ditulis dan disiapkan oleh : Bastian Obermayer, Gerard Ryle, Marina Walker Guevara, Michael Hudson, Jake Bernstein, Will Fitzgibbon, Mar Cabra, Martha M. Hamilton, Frederik Obermaier, Ryan Chittum, Emilia Díaz-Struck, Rigoberto Carvajal, Cécile Schilis-Gallego,Marcos García Rey, Delphine Reuter,Matthew Caruana-Galizia, Hamish Boland-Rudder, Miguel Fiandor and Mago Torres.

Di Indonesia, tim Tempo yang terlibat adalah Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Agoeng Widjaya dan Mustafa Silalahi.

PANAMA PAPERS : Jejak Korupsi Global dari Panama (4)


Pada 10 Februari 2011, sebuah perusahaan tak dikenal di British Virgin Islands bernama Sandalwood Continental Ltd. meminjamkan US$ 200 juta ke sebuah perusahaan gelap lain yang berbasis di Siprus dengan nama Horwich Trading Ltd. Pada keesokan harinya, Sandalwood menyerahkan hak untuk menagih pembayaran atas pinjaman itu --termasuk bunga-- pada Ove Financial Corp., sebuah perusahaan misterius di British Virgin Islands. Untuk memperoleh hak itu, Ove membayar US$ 1 saja.

Jejak uang ini tak berhenti di sana. Pada hari yang sama, Ove menyerahkan hak untuk menagih pembayaran atas pinjaman itu pada sebuah perusahaan Panama bernama International Media Overseas. Perusahaan ini juga membayar hanya US$ 1 saja.

Dalam jangka waktu 24 jam saja, pinjaman itu, setidaknya di atas kertas, sudah berpindah ke tiga negara, dua bank dan empat perusahaan, membuat uang itu menjadi nyaris mustahil dilacak.

Ada banyak alasan mengapa orang-orang di belakang transaksi ini ingin perpindahan uang ini tersamarkan. Belakangan terungkap bahwa fulus jumbo ini berasal dari lingkaran terdekat Presiden Rusia Vladimir Putin. Sebuah bank berbasis di St Petersburg, Bank Rossiya, yang pemilik dan komisaris utamanya dikenal sebagai 'juru bayar Putin' adalah lembaga yang membentuk Sandalwood Continental dan mengarahkan aliran uang ini.

Sementara International Media Overseas, yang mendapat hak tagih atas dana US$ 200 juta, dikendalikan di atas kertas oleh kawan lama Putin, Sergey Roldugin, seorang pemain cello klasik yang menjadi ayah baptis untuk anak perempuan tertua Putin.

Pinjaman US$ 200 juta ini adalah satu dari belasan transaksi dengan total nilai US$ 2 miliar yang bisa ditemukan dalam dokumen Mossack Fonseca, yang berisi nama orang dan perusahaan yang terkait dengan Putin. Mereka adalah pengendali utama Bank Rossiya yang menguasai mayoritas saham di perusahaan pembuat truk terbesar di Rusia dan punya sejumlah saham rahasia di aset-aset penting industri media di negara itu.

Pembayaran mencurigakan dari kroni Putin ini bisa jadi didesain sebagai setoran, kemungkinan sebagai imbalan atas kontrak atau bantuan dari pemerintah Rusia. Dokumen rahasia yang bocor ini menunjukkan bahwa sebagian besar pinjaman uang dalam transaksi ini bersumber dari sebuah bank di Siprus yang pada saat itu dimiliki oleh Bank VTB, yang dikendalikan oleh pemerintah Rusia.

Pada sebuah konferensi pers akhir Maret 2016, juru bicara Putin Dmitry Peskov mengatakan bahwa pemerintah Rusia tidak akan menjawab pertanyaan dari ICIJ atau media mitranya, karena pertanyaan yang diajukan "sudah disampaikan beratus kali dan dijawab beratus-ratus kali." Peskov menambahkan bahwa Rusia sudah meyiapkan "semua amunisi legal yang mungkin di arena nasional dan internasional, untuk melindungi kehormatan dan martabat presiden kami."

Di bawah perjanjian nasional dan internasional, firma seperti Mossack Fonseca yang membantu membuat perusahaan dan rekening bank seharusnya selalu mencari kemungkinan klien mereka terlibat dalam pencucian uang, penggelapan pajak, atau pelanggaran lain. Secara hukum, mereka diminta untuk memperhatikan orang-orang yang secara politik terkait (politically exposed persons) – yakni pejabat pemerintah, anggota keluarga mereka atau orang dekat. Jika seseorang masuk dalam kategori itu maka perantara yang membuatkan dokumen perusahaan untuk mereka diharapkan meninjau kembali seluruh kegiatan yang bersangkutan untuk memastikan mereka tak tersangkut kasus korupsi.

Mossack Fonseca memberitahu ICIJ kalau mereka "sudah menetapkan kebijakan dan prosedur yang ketat untuk mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus dimana individu yang terlibat merupakan kategori politically exposed persons."

Namun, seringkali, Mossack Fonseca seolah tak paham siapa sebenarnya klien mereka. Sebuah laporan audit pada 2015 menemukan bahwa Mossack hanya tahu identitas asli dari pemilik 204 perusahaan, dari total 14.086 perusahaan yang mereka dirikan di Seychelles, sebuah kawasan surga bebas pajak di Samudera India.

Otoritas di British Virgin Islands bahkan pernah mendenda Mossack Fonseca sebesar US$ 37.500 karena firma ini melanggar aturan anti pencucian uang ketika membuatkan perusahaan untuk anak mantan Presiden Mesir Husni Mubarak dan tidak menjelaskan siapa klien mereka meski Mubarak dan anaknya telah didakwa melakukan korupsi di Mesir. Review internal di Mossack Fonseca sendiri menyimpulkan bahwa 'formula penilaian risiko (risk assesment) kita amat lemah."


Analisa ICIJ sendiri atas dokumen Mossack yang bocor menemukan ada setidaknya 58 anggota keluarga dan orang dekat perdana menteri, presiden dan raja-raja yang jadi klien firma ini. Catatan menunjukkan, sebagai contoh, bahwa keluarga Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menggunakan yayasan dan perusahaan di Panama untuk menguasai saham rahasia di tambang emas dan sebuah real estate di London.

Anak-anak dari Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif juga memiliki sebuah real estate di London, lewat sebuah perusahaan yang dibuatkan oleh Mossack Fonseca.

Di Cina, anggota keluarga dari setidaknya delapan mantan maupun pejabat aktif Komite Pusat Politbiro Partai Komunis Cina, organ utama pemerintahan negeri itu, memiliki perusahaan offshore yang didirikan via Mossack Fonseca. Bahkan saudara ipar Presiden Xi Jinping termasuk yang mendirikan dua perusahaan di British Virgin Islands pada 2009.

Juru bicara pemerintahan Azerbaijan, Cina dan Pakistan tidak menjawab permohonan konfirmasi untuk informasi ini. Daftar pemimpin dunia yang menggunakan Mossack Fonseca untuk mendirikan perusahaan offshore termasuk Presiden Argentina Mauricio Macri, yang pernah menjabat Direktur dan Wakil Presiden sebuah perusahaan berbasis di Panama, yang dikelola Mossack Fonseca, ketika Macri menjadi pengusaha dan kemudian Wali Kota Buenos Aires, Ibu Kota Argentina. Juru bicara pemerintah Argentina menegaskan bahwa Macri tak pernah memiliki saham perusahaan itu secara personal, karena perusahaan itu adalah bagian dari bisnis keluarga.

Ketika Rusia menginvasi wilayah Ukraina, Donbas, pada 2014, catatan menunjukkan bagaimana wakil dari Presiden Ukraina Petro Poroshenko berusaha mencari salinan rekening air dan listrik pribadi untuk Poroshenko sebagai kelengkapan dokumen pendirian perusahaannya di British Virgin Islands. Juru bicara Poroshenko menegaskan bahwa pendirian perusahaan itu tidak ada hubungannya dengan peristiwa politik atau militer apapun di Ukraina.

Penasehat keuangan Poroshenko menjelaskan bahwa Presiden tidak memasukkan perusahaan BVI itu dalam laporan kekayaannya karena perusahaan itu dan anak perusahaannya di Belanda dan Siprus tidak memiliki aset apapun. Perusahaan itu didirikan sebagai bagian dari restrukturisasi korporasi di bisnis Poroshenko.

Ketika Sigmundur David Gunnlaugsson menjadi Perdana Menteri Islandia pada 2013, dia juga menyembunyikan satu rahasia yang bisa mengganggu karir politiknya. Pada 2009, ketika dia terpilih menjadi anggota parlemen, Gunnlaugsson dan istrinya bersama-sama memiliki sebuah perusahaan offshore di British Virgin Islands. Beberapa bulan kemudian, dia menjual saham bagiannya ke istrinya dengan nilai US$ 1.

Perusahaan itu memegang surat utang yang semula bernilai jutaan dolar di tiga bank raksasa di Islandia. Ketiga bank itu rontok pada puncak krisis  ekonomi dunia pada 2008 dan membuat perusahaan Gunnlaugsson otomatis menjadi kreditor dalam proses pailit ketiga bank itu.

Tahun lalu, pemerintah Islandia bernegosiasi dengan semua kreditor bank-bank yang tutup di sana. Namun Gunnlaugsson tetap tidak melaporkan keterlibatannya sebagai pemilik salah satu perusahaan kreditor yang kemungkinan akan mendapatkan keuntungan finansial dari negosiasi itu.

Gunnlaugsson membantah kalau kepentingan bisnis keluarganya memiliki pengaruh atas posisi pemerintahannya dalam negosiasi dengan kreditor. Catatan Mossack Fonseca yang bocor tidak menjelaskan dengan detail apakah posisi politik Gunnlaugsson merugikan atau menguntungkan nilai surat utang yang dia pegang melalui perusahaan offshore itu.

Dalam sebuah wawancara dengan mitra ICIJ, Reykjavik Media, Gunnlaugsson membantah menyembunyikan asetnya. Ketika nama perusahaan offshore yang terkait dirinya, Wintris Inc. disebut, Perdana Menteri itu berujar, "Saya merasa tak nyaman dengan pertanyaan ini, karena seolah Anda menuduh saya sesuatu." Dia kemudian menghentikan wawancara.

Empat hari kemudian, istrinya mempublikasikan isu ini melalui Facebook. Dalam catatan yang ditulis istri Gunnlaugsson di media sosial itu, dia menegaskan bahwa dialah yang memiliki perusahaan offshore itu, dan bukan suaminya. Dia juga menegaskan bahwa semua pajak perusahaan itu sudah dibayar. Penjelasan istri Gunnlaugsson membuat sejumlah anggota parlemen Islandia makin mempertanyakan mengapa Perdana Menteri tidak membuat penjelasan itu sebelumnya. Satu anggota parlemen bahkan sudah mendesak Gunnlaugsson untuk mundur dari posisinya.

Perdana Menteri Islandia melawan dan merilis sebuah penjelasan sepanjang 8 halaman untuk menegaskan bahwa "tidak ada ketentuan hukum apapun yang mengharuskan saya membuka informasi ini karena perusahaan itu milik istri saya dan perusahaan itu hanya perusahaan induk (holding company) yang tak terlibat dalam bisnis komersial apapun."

(bersambung)……



Laporan ini ditulis dan disiapkan oleh : Bastian Obermayer, Gerard Ryle, Marina Walker Guevara, Michael Hudson, Jake Bernstein, Will Fitzgibbon, Mar Cabra, Martha M. Hamilton, Frederik Obermaier, Ryan Chittum, Emilia Díaz-Struck, Rigoberto Carvajal, Cécile Schilis-Gallego,Marcos García Rey, Delphine Reuter,Matthew Caruana-Galizia, Hamish Boland-Rudder, Miguel Fiandor and Mago Torres.

Di Indonesia, tim Tempo yang terlibat adalah Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Agoeng Widjaya dan Mustafa Silalahi.
 
Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA